SABTU 17 Desember 2016 hari ini, Pengurus Wilayah Nahdlatul ‘Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta (PWNU DIY) menyelenggarakan Konferensi Wilayah ke- 14 di Pondok Pesantren Darul Quran wal Irsyad, Wonosari Gunungkidul. Momentum ini sangat baik untuk merefleksikan gerak perjuangan NU dalam sejarah NKRI.
Sejak zaman prakemerdekaan, pascakemerdekaan, zaman orde lama, masa orde baru, hingga era reformasi, tidak terhitung lagi kiprah NU bagi bangsa Indonesia. Maka tidak salah jika ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa NU adalah pewaris, sekaligus salah satu pemilik bangsa ini.
Oleh karenanya, sudah menjadi keharusan bagi seluruh elemen NU, terutama para pemimpinnya, untuk terus menjaga, mempertahankan serta mengembangkan setiap aset dan kekayaan bangsa Indonesia, agar karunia Allah yang maha besar ini, terus dapat dinikmati dan dirasakan keindahannya oleh setiap generasi di sepanjang zaman. Sebuah pepatah mengatakan, “para pendahulu kita telah menanam, sehingga hari ini kita dapat menikmati hasilnya. Maka hendaklah (saat ini) kita juga menanam agar generasi setelah kita dapat memetik buahnya.â€
Dalam setiap langkahnya, NU selalu mengacu kepada kemaslahatan publik. Makanya, NU adalah benteng bagi NKRI. Apapun ancaman bagi tegaknya NKRI, NU di garda terdepan. Dalam hal ancaman ideologi transnasional, kita perlu meneguhkan komitmen untuk menjadikan dan mengembangkan prinsip keagamaan dan kenegaraan NU yang i’tidal (tegak lurus), tawaasuth (moderat), tasaamukh (toleran), tawaazun (keseimbangan) dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat (almaslahah), sebagai landasan moral, sosial dan politik pemimpin serta warga NU. Karena dengan landasan itulah, para pendiri serta penggerak NU telah sukses menghantarkan Republik dan Bangsa ini menuju gerbang keselamatan, serta terhindar dari jurang kehancuran dan pertikaian.
Tantangan lain adalah kondisi ekonomi masyarakat yang masih jauh dari cita-cita Islam dan tujuan didirikannya NU. Kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan juga masalah kesehatan dan pendidikan harus menjadi perhatian semua pihak, termasuk NU. Dalam kaitan ini, setiap elemen NU, terutama para pengurus, perlu menggelorakan kembali prinsip-prinsip pembentukan masyarakat ideal (mabadi’ khaira ummah) yang telah digagas para pendahulu kita, meliputi prinsip as-shidqu (jujur), al-amanah (bertanggungjawab), al-wafa’ bil ‘ahdi (menepati janji), at-Ta’awun (gotong royong), al-’adlu (bersikap adil) dan al-Istiqamah (konsisten).
Godaan Politik
Praktis Bagi NU, politik bukanlah sesuatu yang haram, bahkan menjadi penting dan sangat mulia ketika politik ditempatkan sesuai dengan proporsinya, serta dijalankan dengan mengedepankan al-akhlak al-karimah. NU tidak didirikan untuk meraih kekuasaan (politik kekuasaan). Sekali lagi kami tegaskan, bahwa politik yang dilakukan oleh NU bukanlah politik praktis yang berorientasi pada kekuasaan, melainkan politik kebangsaan dan kerakyatan.
Untuk itu, kami tegaskan kepada seluruh pengurus dan elemen warga NU, untuk tidak membawa NU secara jam’iyyahke dalam ranah politik praktis. Kami berharap, forum konferwil ke-14 PWNU DIY kali ini, mampu mempertegas relasi NU dengan politik. Sehingga, ke depan pengurus NU DIY dapat lebih fokus di dalam mengawal program-program strategis yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan dasar masyarakat.