KABUPATEN Pidie Jaya Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, Rabu (7/12) diguncang gempabumi tektonik dengan kekuatan (magnitudo) 6.5 dan kedalaman sumber gempa 15 km. Pusat gempabumi yang terjadi pukul 05.03.35 WIB tersebut di darat pada posisi 5,25 LU-96,24 BT dan berjarak sekitar 106 km dari kota Banda Aceh. Gempabumi ini menimbulkan banyak kerusakan bangunan semipermanen dan permanen dengan intensitas sekitar 7-8 MMI (Modified Mercalli Intensity) atau 4 SIG (Skala Intensitas Gempabumi-BMKG), dan menelan puluhan korban jiwa meninggal dunia.
Gempabumi Aceh 7 Desember 2016 ini mengingatkan kita pada kejadian gempabumi Yogyakarta pada 27 Mei 2006, pukul 05 53 57 WIB, dengan magnitude 6.3 dan kedalaman sumber gempabumi 11 km. Gempabumi Yogyakarta yang menyebabkan lebih dari 5.000 orang meninggal dunia dan sekitar 200 ribu bangunan rusak pada intensitas sekitar 7 MMI.
Melihat dari parameter gempabumi tersebut, keduanya mempunyai kesamaan (hampir), dan terjadi di wilayah pemukiman penduduk. Sudah dapat dipastikan atau tidak mengherankan jika gempabumi Aceh yang terjadi pada 7 Desember lalu menimbulkan kerusakan infrastruktur yang cukup parah.
Gempabumi Pidie-Aceh ini diperkirakan dipicu oleh akibat aktivitas sesar darat Samalanga dari daerah Takengon yang menerus ke arah laut. Sesar ini melintang dengan arah hampir Tenggara-Barat Laut. Sesar Samalanga melintas ke arah Kabupaten Pidi Jaya yang wilayahnya banyak mengalami kerusakan bangunan atau infrastruktur akibat hantaman gempabumi tersebut. Gempabumi Yogyakarta tahun 2006 juga dipicu sesar darat Opak dari darat yang menerus ke arah laut.
Berdasarkan catatan sejarah, ada 3 gempabumi merusak yang pernah terjadi di sekitar wilayah ini. Gempabumi tanggal 12 April 1967 terjadi pukul 11 51 50 WIB pada posisi episenter 5.3LU- 97.3BT kedalaman 55 km dan kekuatan 6.1. Gempabumi menyebabkan merusak 5 masjid, 2.000 rumah batu rusak, 11 bangunan sekolah di daerah Jeunieb, Pendada dan Jeumpa Bireun. Yang kedua gempabumi yang terjadi tanggal 2 April 1964 pukul 08 11 55 WIB pada posisi 5.9 LU-95.7 BT kedalaman 132 km dan kekuatan 5.2. Dalam catatan, gempabumi ini menimbulkan kerusakan di Banda Aceh pada skala VII MMI dan sekitar 30-40 % rumah dari batu bata mengalami kerusakan di Krueng raya-Aceh.
Selain itu terdapat gempabumi dengan kekuatan 6.1 terjadi pada 23 Agustus 1936 menelan korban jiwa 9 orang dan menimbulkan kerusakan di Banda Aceh VII-VIII MMI, Lhokseumawe dan Lhok Sukon. Posisi pusat gempabumi tersebut tidak disebutkan, kemungkinan besar karena jaringan seismograph di Indonesia belum ada kecuali seismograph Wichert yang dipasang di Jakarta (Batavia) pada saat itu.
Hasil monitoring BMKG Pusat sampai 12 jam setelah gempabumi utama tercatat 15 kali gempabumi susulan (aftershock) dengan magnitude terbesar 4.9. Melihat dari lokasi 15 gempabumi susulan, mempunyai orientasi sebaran gempabumi susulan ini searah dengan arah sesar Samalanga yang menerus dari arah tenggara (Takengon). Dengan demikian bahwa posisi gempabumi utama (main shock) sesuai dengan dengan pola kelurusan sesar Samalanga.
Kemiripan lain dari gempabumi Pidi Aceh tanggal 7 Desember 2016 dengan gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 adalah pola mekanisme sistem patahan. Kedua gempabumi ini sama-sama akibat sesar darat dan mempunyai mekanisme patahan geser datar (strike slip). Jika gempabumi Aceh tahun 1964 dan 1936 dianggap sebagai gempabumi yang mempunyai satu zona dengan gempabumi tanggal 7 Desember 2016, maka periode ulangnya rata-rata sekitar 50 tahun sampai 80 tahun. Dan jika periode ini digunakan untuk menaksir periode ulang gempabumi di tempat lain (misal gempabumi Yogyakarta tahun 2006) dengan anggapan mempunyai pola karakteristik yang hampir sama seperti disebutkan di atas, maka gempabumi Yogyakarta akan berulang antara 50 tahun sampai 80 tahun terhitung dari tahun 2006.