Muhadjir memaparkan ada delapan alasan sehingga memutuskan jeda sementara Ujian Nasional, Pertama, moratorium UN sesuai dengan visi Nawa Cita dari Presiden Joko Widodo, tepatnya program prioritas nomor delapan. Jokowi menginstruksikan untuk melakukan evaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan seperti UN.
Kedua, moratorium UN sesuai dengan putusan Mahkamah Agung nomor 2596/2009 yang inti putusannya pemerintah wajib membangun sarana dan prasarana pendidikan secara merata dan menjamin kualitas guru. Ketiga, rencana wajib belajar 12 tahun. Upaya pemenuhan seluruh siswa dapat melanjutkan dari jenjang SD ke SMP dan SMP ke SMA serta menghindari siswa putus sekolah. Keempat, hasil UN tak mampu meningkatkan mutu pendidikan dan kurang mendorong kemampuan siswa secara utuh.
Kelima, cakupan UN terlalu luas sehingga sulit diselenggarakan dengan kredibel dan bebas dari kecurangan. Keenam, UN sudah tak berimplikasi langsung pada siswa karena tak lagi dikaitkan dengan kelulusan. Pemerintah meyakini, berdasarkan hasil kajian, UN cenderung membawa proses belajar ke orientasi yang salah.
Ketujuh, UN cenderung membawa proses belajar pada orientasi belajar yang salah, karena sifat UN hanya menguji ranah kognitif, beberapa mata pelajaran tertentu. UN telah menjauhkan diri dari pembelajaran yang mendorong siswa berpikir kritis, analitis, dan praktik penulisan essai sebagai latihan mengekspresikan pikiran dan gagasan anak didik. Kedelapan, jika digunakan sebagai alat pemetaan mutu, UN bukanlah alat pemetaan yang tepat.
Pemetaan mutu yang baik menuntut instrumen yang berbeda dengan instrumen UN. Pemetaan mutu tidak perlu dilakukan setiap tahun dan tidak perlu diberlakukan untuk seluruh siswa. UN pada hakikatnya harus terkait dengan kelulusan dan meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi.
(Muhammad Amir Husni. Guru SMPN 1 Blora. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 8 Desember 2016)