DALAM filsafat pendidikan terdapat berbagai aliran atau mazhab dengan tokoh pemikirnya. Aliran idealisme dengan tokoh di antaranya Plato. Realisme dengan Aristoteles, nativisme dengan JJ Rousseau, empirisme dengan John Locke, materialisme dengan Thomas Hobbes, dan sebagainya. Ki Hadjar Dewantara (KHD) termasuk pemikir pendidikan yang oleh sebagian besar ahli dikategorikan dalam aliran filsafat idealisme. Salah satu ciri pemikiran filsafat idealisme lebih tekstual dari pada kontekstual.
Pemikiran-pemikiran KHD dalam bidang pendidikan diakui secara nasional bahkan dunia. Penetapan tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional merupakan pengakuan sekaligus penghargaan kepada KHD atas jasa yang luar biasa dalam meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Sebagai filsafat pendidikan idealisme, meskipun lebih bersifat tekstual, konsep-konsep dan ajaran-ajaran KHD tentang pendidikan (dan kebudayaan) tidak akan lapuk karena hujan dan lekang oleh panas. Tamansiswa sebagai pewaris ajaran KHD memiliki tanggungjawab kontekstualisasi ajaran KHD agar Bangsa Indonesia dapat memetik manfaat lebih besar.
Tantangan Kekinian
Kongres XXI Persatuan Tamansiswa yang sedang berlangsung di Yogyakarta dari tanggal 5-8 Desember 2016 bertepatan dengan tantangan kekinian Tamansiswa yang semakin berat. Perubahan alam dan zaman tidak bisa lagi menempatkanTamansiswa seolah-olah hidup di masa lampau. Tantangan Tamansiswa kini berbeda dengan masa lampau. Pada saat ini dan mendatang Tamansiswa dihadapkan pada semakin hegemoniknya konsep pendidikan modern atau setidaknya yang dianggap modern yang dikangkangi oleh kepentingan kapitalisme ekonomi. Idealisme pendidikan harus berhadapan dengan pragmatisme pendidikan yang merupakan anak kandung kapitalisme. Pendidikan dasar yang oleh Tamansiswa dimaknai sebagai pendidikan yang harus bisa dinikmati seluruh warga negara, ternyata dalam pengaruh kapitalisme ekonomi disekat-sekat dalam eksklusivitas. Dimana tidak setiap warga negara dapat mencapainya kecuali mengeluarkan dana yang tidak sedikit.
Pragmatisme dalam pendidikan lebih dekat kepada intelektualisme dan materialisme. Intelektualisme dan materialisme ditolak KHD karena akan memisahkan kaum terpelajar dengan masyarakatnya. Bukan tidak mungkin pada gilirannya akan memisahkan pemimpin dengan rakyatnya. Dasar pemikiran inilah yang kemudian dituang dalam pasal 31 UUD 1945 (sebelum amandemen). (1) tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran. (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Tantangan berat yang dihadapi Tamansiswa lainnya ialah, hadirnya teknologi informasi dan komunikasi yang mustahil terbendung dan telah membawa perubahan sosial yang sangat cepat merasuk sampai dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Pada gilirannya mengalahkan tatanan sosial yang ada. Arahnya sangat jelas, memudarnya kepatuhan terhadap nilai, norma, dan pranata masyarakat yang dijunjung tinggi yang kemudian menimbulkan persepsi semakin merosotnya akhlak dan budi pekerti. Menghujat dan menista pihak lain tanpa perasaan bersalah oleh karena melalui media sosial saat ini sedang marak terjadi. Barang tentu hal ini tidak menggambarkan watak bangsa Indonesia yang lembah manah dan andhap asor.
Tantangan Berat