Tamansiswa tekstual tidak cukup mampu menghadapi tantangan berat ini. Oleh sebab itu Tamansiswa harus kontekstual. KHD sebagai Bapak Pendiri Tamansiswa memberi kunci untuk membuka pintu Tamansiswa kontekstual. Kuncinya, pertama, KHD tidak mau ajarannya disebut sebagai Dewantara-isme atau Dewantara-methode. Segala ajaran, temuan hasil pemikiran, konsep, dan gagasan KHD diwakafkan menjadi ajaran Sistem Tamansiswa dan kemudian disebut sebagai Ketamansiswaan.
Kedua, Sifat-Bentuk-Isi-Irama (SBII). Ketamansiswaan mengatakan, untuk menyikapi perkembangan alam dan zaman yang berubah, maka digunakanlah teori SBII. Sifat hakikat tidak boleh berubah, akan tetapi bentuk, isi, dan irama boleh (bahkan harus mampu) berubah sesuai dengan tuntutan perkembangan alam dan zaman.
Tamansiswa kontekstual memerlukan dukungan sumber daya dan sumber dana besar. Dalam kedudukannya sebagai asset bangsa, Tamansiswa memerlukan dukungan semua pihak, siapapun mereka. Tamansiswa adalah organisasi yang bersifat wakaf merdeka sehingga Tamansiswa menjadi milik siapa saja yang menyetujui gagasan dan cita-cita Tamansiswa, Yang sesungguhnya juga merupakan cita-cita seluruh Bangsa Indonesia yang cinta damai, anti- penindasan, menjujung tinggi kemanusiaan dan HAM. Serta memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang dikehendaki Pancasila dan UUD 1945. Dalam bahasa Tamansiswa dirumuskan sebagai masyarakat tertib damai dan manusia salam bahagia.
(Ki Sugeng Subagya. Pamong Tamansiswa di Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 6 Desember 2016)