Dakwah Santun dalam Sekaten

Photo Author
- Jumat, 2 Desember 2016 | 22:19 WIB

DAKWAH sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW mestinya menggunakan qoulan kariman (perkataan mulia) serta sifat hikmah (bijaksana). Selain itu, satu hal yang mesti diingat adalah bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Setiap manusia berhak untuk menentukan agamanya masing-masing. Sehingga, toleransi beragama menjadi salah satu pintu menggapai kerukunan antar-umat beragama.

Menjadi kebutuhan bagi seorang dai mengajak orang lain untuk memeluk Agama Islam serta mengajarkan ajaran yang ada di dalamnya. Seorang muslim yang mampu mengajak orang lain melakukan kebaikan, maka dirinya akan mendapatkan pahala sebagaimana orang lain mengerjakan kebaikan.

Raja Jawa

Sekaten adalah salah satu model dakwah yang digunakan oleh Raja Jawa di Solo dan Yogyakarta dalam rangka mengajak masyarakat memeluk Agama Islam. Konon, sekaten berasal dari Bahasa Arab, yakni sahadatain (perkataan la ilaha ilallah muhammadur rasulullah yang berarti tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya). Sahadatain adalah dua kalimat sahadat (kesaksian) yakni sahadat tauhid (mengesakan Tuhan) dan sahadat rasul (meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah). Kedua kalimat sahadat ini adalah gerbang pertama bagi setiap orang yang ingin memeluk agama Islam.

Konon, sahadatain menjadi tiket memasuki kawasan sekaten (alun-alun lor Kraton Solo dan Yogyakarta). Di dalam sekaten, warga bisa menonton wayang kulit yang saat itu masih menjadi salah satu hiburan utama masyarakat. Dan, tontonan wayang kulit tersebut juga menjadi media dakwah untuk mengajak warga memeluk Islam serta memberi pemahaman mengenai ajaran-ajaran di dalamnya. Masyarakat yang saat itu masih awam dengan ajaran Agama Islam pun pelan-pelan mulai paham dengan ajaran agama baru dan sedikit demi sedikit mulai tertarik untuk benar-benar memeluknya.

Kala itu, warga tidak merasa tertekan ataupun terpaksa untuk memeluknya. Mereka memeluk Agama Islam atas dasar kesadaran diri, betapa dirinya perlu untuk memeluk Agama Islam demi kenyamanan hidup di dunia hingga akhirat. Ajaran dakwah yang disampaikan para dai dengan media seni dan segala macam kebutuhan masyarakat saat itu benar-benar menjadi bahan renungan warga. Sehingga akhirnya bisa menentukan pilihan untuk memeluk agama Islam.

Kenyataan betapa dakwah bil hikmah sebagaimana yang telah dilakukan oleh para dai pada masa awal Kerajaan Mataram lambat laun mulai pudar. Kini, banyak orang Muslim (yang mengaku) sebagai dai namun tidak pernah mencerminkan sifat hikmah sedikit pun. Bahkan dalam berdakwah justru menyebarkan permusuhan. Mereka mudah mengafirkan muslim lain karena berbeda pandangan. Mereka kadang melakukan aksi kekerasan dengan dalih ‘dakwah’. Kondisi ini sangat jauh dari sifat hikmah yang mesti dimiliki oleh setiap dai.

Maulid

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X