Peternakan Dikebiri

Photo Author
- Jumat, 11 November 2016 | 06:17 WIB

SLOGANISASI pembangunan peternakan tidak kalah seru. Semangatnya termasuk trending topics dalam jajaran kabinet, mulai Kabinet Pembangunan, Kabinet Indonesia Bersatu, sampai Kabinet Kerja. Swasembada daging sapi sampai swasembada kedelai dan jagung sebagai bahan pakan, bertubi menjadi janji kampanye, menghiasi APBN, ngayem-ayemi petani-peternak, tetapi selalu tanpa realita. Untuk sapi-kedelai-jagung, sudah berulang target swasembada diobral dan pasti direvisi. Target swasembada 2005, mundur. 2010 mundur lagi, dan 2014 mundur lagi. Dan kini, target Pajale 2019 pasti mundur lagi.

Mundur lagi, mundur lagi: itulah tantangan serius ahli peternakan Indonesia. Yang memilukan, hambatan perjalanan pembangunan seringkali terjadi struktural dan tidak masuk akal. Struktural karena dipicu ulah pemerintah dan atau ketidakmampuan negara dalam mengendalikan tataniaga yang mengamankan peternakan. Ada beberapa kasus bisa diangkat sebagai contoh struktural, mulai sapi sampai kuthuk.

Ketika bangsa ini terkena krisis 2013, ditandai merosotnya nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (ISHG), pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan Penyelamatan Ekonomi, PKPE, 23 Agustus 2013. Salah satu butirnya adalah perubahan kebijakan importasi daging sapi dari berbasis kuota menjadi berbasis harga dengan referensi harga Rp 76.000 perkilogram. Akibat rendahnya referensi, RI nyaris liberalisasi importasi daging sapi tiada henti. Rente luar biasa urusan sapi ini telah pula membawa banyak petinggi tersenggol gratifikasi.

September 2013, kedelai yang mayoritas untuk pangan dan sedikit saja untuk pakan, harganya pun naik. Dan diselesaikan dengan penghapusan cukai impor. Suatu keadaan yang menguntungkan bagi produsen kedelai dalam negeri sertamerta menguap secara struktural, akibat dimurah-murahkannya impor. Jelas sekali, pemenang dari ulah struktural ini adalah the big guys, para importir dan komprador. Hari ini ditargetkan swasembada kedelai yang 2,7 juta ton, 2019. Dengan produksi 2015 kurang dari 1 juta ton, target swasembada 2019 adalah omong kosong. Begitu pula jagungnya. Memangnya sulapan?

Terbitnya Surat Mendag No: 644/M-DAG/SD/4/14, 15 April 2014, juga menyeramkan karena membatasi importasi Grand Parent Stock (GPS) untuk mengurangi telur tetas 15 persen, dan penetapan harga DOC, kuthuk, Rp 3.200. Dalihnya adalah peningkatan harga daging ayam untuk kesejahteraan peternak. Pertanyaannya: peternak mana yang diuntungkan? Sudah pasti the big guys, peternak besar. Kebodohan ini bak kartelisasi untuk kemenangan komprador.

Kartelisasi betul-betul terjadi dengan terungkapnya 12 peternak besar yang bersepakat melakukan afkir dini induk ayam guna mengurangi produksi DOC. Harga DOC pun langsung naik setelah afkir dini 2 juta menjadi Rp 4.600-Rp 6.000. Pada gilirannya, harga daging ayam pasti naik dan menjadi sumber rente bagi perusahaan besar. Pengadilan Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan kartel ini bersalah, 13 Oktober 2016. Kasus ini sebetulnya persis sama dengan kasus surat No: 644/M-DAG/SD/4/14. Jangan-jangan kebodohan struktural itu inspirasinya.

Pergantian Mendag Gobel ke Lembong, 12 Agustus 2015, terjadi ketika Gobel menurunkan kuota impor dari 200.000 menjadi 50.000 ekor sapi demi proteksi peternak, dan memicu pemogokan asosiasi pedagang daging sapi seluruh Indonesia (Apdassi). Menteri baru pun mengembalikan kebijakan ke angka 200.000 perkuartal, krisis selesai. Orientasi proteksi kalah sakti dibandingkan orientasi ekspor.

Tandatanya besar juga berkait dengan peluncuran Kapal Sapi oleh Presiden, 11 Desember 2015. Angkutan pertama terisi 60%, Alhamdulillah. Kedua, tidak seekor pun mau naik. Begitu pula yang ketiga, sapi-sapi Nusa Tenggara gemang naik kapal. Permainan harga pasar dan penyusutan menjadi penyebabnya. Setelah sejumlah kekuatan terbaik Kementan menjinakkan, barulah Kapal Sapi terisi 100%, 3 Februari 2016. Sudah pasti insentif berlebihan dikucurkan untuk penyelamatan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X