ADA pergerakan dinamis kaum muda tempo dulu. Ini ditandai peristiwa 28 Oktober 1928. Kaum muda bertekad menjadi satu bangsa. Sebagai simbol kebangsaan kaum muda mendeklarasikan : bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu Bangsa Indonesia, dan berbahasa satu Bahasa Indonesia.
Merefleksikan rumusan sumpah pemuda pada zaman itu, sesungguhnya merupakan daya kritis melakukan gerakan politik membangun nasionalisme. Gerakan politik yang dilakukan pada era tersebut sebagai bentuk kecintaan terhadap tanah air. Kaum muda memiliki kesadaran dapat melepaskan belenggu kolonial dengan membangun ‘jiwa korsa’ persatuan.
Kini semangat kaum muda menumbuhkan motivasi mengikuti gerakan politik untuk membangun bangsanya teramat rendah. Setidaknya ini dibuktikan hasil survei Clinic for Community Empowerment (CCE) pada Oktober 2016 yang memaparkan 84,65 % kaum muda tidak tertarik menekuni politik. Argumentasi berikutnya yang memperkuat kaum muda tidak peduli politik ditunjukkan oleh 73, 24 % tidak tahu terhadap calon kepala daerah yang diusung pada pemilihan kepala daerah.
Survei dilakukan CCE di Yogyakarta, pada 482 kaum muda yang dikategorikan sebagai pemilih pemula. Yogyakarta sengaja dipilih menjadi area survei karena merupakan Indonesia ‘mini’. Kota Yogyakarta ditinggali kaum muda dari seluruh Indonesia. Sehingga hasil survei ini dapat merepresentasikan kondisi kaum muda Indonesia.
Secara konseptual dapat dijelaskan bahwa perilaku politik kaum muda cenderung tidak tertarik, tidak peduli, dan bahkan apatis terhadap politik. Ini disebabkan sebagian politisi mempertontonkan tindakan tak dapat menjadi teladan kaum muda. Berbagai tingkah yang tak terpuji dari politisi berdampak menimbulkan persepsi negatif pada dunia politik.
Enggan Terlibat
Menancap dalam kognisi kaum muda enggan terlibat, karena politik dianggap kotor, banyak manipulasi, dan penuh konflik berebut kekuasaan. Selain hal tersebut survei memaparkan jawaban responden tidak mau terjun dalam politik dengan alasan sebagai sarang koruptor, penuh kebohongan, dan bisa dibeli dengan uang.
Rupanya itu yang menjadi faktor kaum muda antipati pada politik. Kaum muda menolak aktif di partai politik. Kaum muda lebih memilih salurkan kegiatan melalui organisasi kemahasiswaan, organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas media sosial.