Menghapus UN

Photo Author
- Jumat, 21 Oktober 2016 | 10:43 WIB

SEBAGAIMANA diberitakan Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat edisi 20 Oktober 2016 serta berbagai media cetak, elektronik dan media sosial lain, sekarang ini posisi pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang merencanakan untuk menghapus Ujian Nasional (UN).

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad menyatakan bahwa saat ini Kemendikbud sedang melakukan kajian mendalam tentang kemungkinan menghapus UN. Kajian ini di samping melibatkan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) sebagai badan internal Kemendikbud, juga melibatkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang notabene merupakan badan eksternal Kemendikbud.

Sebagaimana diketahui, saat ini hasil UN tidak lagi digunakan sebagai penentu kelulusan siswa tetapi 'sekadar' sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan baik di tingkat daerah maupun nasional.

Kalau kita cermati, rencana penghapusan UN bisa dinyatakan sebagai sesuatu yang wajar. Sejak dikembangkannya konsep UN maka berbagai kecurangan muncul dalam pelaksanaannya. Makin lama kecurangan ini tidak semakin reda tetapi justru semakin canggih.

Ironisnya, kecurangan UN tidak saja melibatkan siswa yang secara langsung berkepentingan terhadap kelulusan, tetapi juga melibatkan orangtua, guru, kepala sekolah, bahkan Pimpinan Dinas Pendidikan meski sifatnya oknum. Banyak siswa yang menjalani UN dengan curang, misal membawa kepekan jawaban, yang sebenarnya dilarang keras. Banyak oknum guru dan kepala sekolah yang terlibat menjadi ‘Tim Sukses’ yang bekerja curang membantu kelulusan siswa. Berbagai kecurangan inilah yang mewajarkan rencana penghapusan UN.

Dengan adanya berbagai kecurangan tersebut menyebabkan hasil UN bukan mencerminkan kualitas siswa yang sesungguhnya. Argumentasinya jelas, siswa yang bodoh dengan bekerja curang bisa mencapai hasil yang maksimal.

Ketika hasil UN diputuskan tidak menjadi penentu kelulusan siswa, banyak orang bersyukur karena yakin bahwa berbagai kecurangan tersebut akan berlalu. Logikanya sederhana: berbagai kecurangan tersebut dilakukan dengan harapan dapat memperlancar kelulusan siswa; jadi kalau hasil UN tidak lagi dijadikan penentu kelulusan maka tidak perlu lagi dilakukan berbagai kecurangan.

Kemudian ... dijadikanlah hasil UN sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Dikiranya, pemetaan kualitas pendidikan ini valid karena tidak ada lagi berbagai kecurangan dalam pelaksanaan UN. Banyak orang lupa kalau hasil UN tidak dijadikan penentu kelulusan maka banyak siswa yang tidak bersungguh-sungguh mengikuti UN. Ada yang mengikuti UN sebatas formalitas, kurang bersemangat dan menjawab soal sebisanya saja tanpa persiapan yang optimal.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X