Ketika Pangan Jadi ‘Objek Hasrat’ Kapitalisme

Photo Author
- Sabtu, 15 Oktober 2016 | 09:56 WIB

IKLIM dan mungkin juga terjadi campur tangan manusia untuk mengubah - tidak terbantahkan menjadi variabel yang sangat penting atas produksi pangan. Harus diakui bahwa pola perilaku manusia yang abai terhadap ekosistem lingkungan telah menyebabkan pola iklim sedunia menjadi sangat ringkih dan tidak stabil. Bila cuaca bagus, panen juga bagus. Sebaliknya, bila cuaca tidak begitu berbaik hati, hasil panenan turun pula.

Untuk melakukan prediksi terhadap cuaca dan iklim tidak mudah. Langkah yang paling mungkin adalah melakukan antisipasi. Karena itu, kedaulatan pangan berkelanjutan, bukan hanya perlu tetapi menjadi niscaya. Sebagaimana tema peringatan Hari Pangan Sedunia tingkat nasional ‘Membangun Kedaulatan Pangan Berkelanjutan Mengantisipasi Era Perubahan Iklim’. Di tingkat dunia, peringatan pada 16 Oktober 2016 dengan tema Climate is Changing, Food Agriculture Must Too.

Dari perspektif ini, seharusnya pangan tidak ditaruh di pasar bebas yang rentan sebagai ‘objek hasrat’ (object of desire) kapitalisme. Tetapi ditumpukan di pundak dan kemampuan sendiri. Tetapi, mengapa hal itu hanya mudah diteorisasikan daripada dipraktikkan?

Penyakit ‘Rabun Dekat’

Menurut FAO, ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam mewujudkan kedaulatan pangan yaitu: ketersediaan, stabilitas ketersediaan, keterjangkauan, dan konsumsi. Namun sayang, konsep ini tidak mempermasalahkan bagaimana pangan tersedia, sehingga tidak peduli dari impor atau panen sendiri.

Karena itu, langkah yang kita lakukan seringkali terjebak pada penyakit ‘rabun dekat’. Keuntungan jangka pendek yang diperoleh tidak mustahil dapat menjadi kerugian jangka panjang. Impor beras Indonesia telah mencapai 35.818 ton, atau setara dengan 19,132 juta dolar AS. Beras tersebut dipasok dari beberapa negara yakni Vietnam, Thailand, Pakistan, India, dan Myanmar.

Sebagai ‘objek hasrat’ sistem kapitalisme, Indonesia berada pada posisi tawar yang ‘sangat lemah’ dihadapan pasar global. Kapitalisme mampu menjinakkan ‘mangsanya’, sampaisampai republik ini menerima penderitaan jangka panjang dengan senang hati. Gunder Frank (1972) mengatakan bahwa dominasi negara kapitalis terhadap negara-negara ‘mangsanya’ dilakukan tidak secara langsung seperti zaman kolonialisme dulu. Sudah cukup bila elite negara miskin memiliki sikap, nilai, dan kepentingan yang sama dengan ‘tuan’ mereka di negara kaya.

Lewat mesin institusi WTO, IMF dan Bank Dunia, lembaga donor lebih tertarik mendorong komoditas ekspor ketimbang menanamkan investasinya pada peningkatan produksi pangan. Jurus melalui penghapusan beragam bentuk subsidi, aneka pangan utama (beras, jagung, kedelai, gandum, gula, dan minyak goreng) dibawah Bulog dilepas ke pasar bebas.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X