Apa Dampaknya?
Ketika republik ini memilih jalan pintas untuk panen pangan di ‘pasar bebas’ ketimbang di lahan sendiri tentu ada dampaknya. Pertama jika sumber daya yang dimiliki belum optimal dimanfaatkan, maka memilih memenuhi kebutuhan pangan dengan cara mengimpor, pada hakikatnya kita sedang ‘mengimpor pengangguran dan kemiskinan’. Petani pun menjadi kaum yang termarjinalkan.
Kedua, kita akan kehilangan salah satu sumber ‘keahlian teknologis’. Sumber keahlian teknologi itu adalah pertanian rakyat yang secara turun-temurun dikelola secara mandiri. Secara kultural matinya usaha tani itu telah meredusir bangsa yang produktif menjadi bangsa yang konsumtif. Ketiga, terjadi ironi demi ironi. Ketika kaum miskin, buruh pabrik, dan pekerja kasar di kota kian sulit memenuhi kebutuhan pokoknya, kondisi ini yang menjadi pembenar bagi pemerintah untuk mematok harga pangan murah. Maka sesungguhnya para petani, nelayan, dan buruh sedang menyubsidi pangan orang kaya.
Semuanya terpulang pada kita. Hanya sedikit waktu yang tersedia untuk tindakan perbaikan. Tetapi, masih adakah harapan untuk menciptakan kedaulatan pangan di masa depan? Robert Heilbroner, mengatakan tergantung apakah ada pemimpin yang diperlukan untuk itu atau tidak, baik pemimpin intelektual maupun pemimpin politik. Sekarang ini, banyak terjadi kemencengan dalam pengambilan keputusan karena sedikit sekali pemimpin politik yang memahami persoalan pangan dengan segala kompleksitasnya. Kebanyakan pemimpin politik di segala tingkatan, lebih suka membebek daripada memimpin.
(Bayu Haryana. Alumnus Pascasarjana Sosiologi UGM, Staf Ahli Gubernur DIY. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 15 Oktober 2016)