Kedua, kraton (Kasultanan dan Pakualaman) sebagai sentra batik. Pemda DIY harus mendukung kraton untuk berkarya batik. Hal itu juga selaras dengan amanat UUK No 13 Tahun 2012 di mana keistimewaan Yogya bertujuan melembagakan peran kraton sebagai basis budaya asli Yogya.
Ketiga, rakyat sebagai elemen utama pengkarya batik. Ungkapan Jawa adoh ratu cedhak watu (jauh dari ratu namun dekat dengan batu) jangan lagi dimaknai sebagai terpinggirkannya (termarjinalisasikannya) rakyat. Keempat, budaya batik jangan melulu pada pengembangan aspek materi (kain dan busana) batik.
Sertifikat UNESCO menyebutkan bahwa “batik adalah warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi†(Masterpiece of Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity) dari Indonesiaâ€. Artinya, Yogya harus lebih dari sekadar giat berkarya kain dan busana batik yang bagus, tetapi juga mengandung dan mengedepankan nilai-nilai luhur dari proses penciptaannya, motif dan ornamen simbolisnya, pemakaiannya sebagai adibusana. Termasuk penggunaannya sebagai media pewarisan ajaran luhur.
Perhelatan akbar berskala internasional JIBB kiranya menjadi pintu masuk bagi masyarakat internasional untuk melihat kedalaman kualitas budaya batik Yogya, sehingga predikat Yogya Kota Batik bukan sekadar tidak dicoret, namun justru semakin menguat di mata dunia.
(Livy Laurens MACE MA. Ketua Gerakan Cinta Batik sebagai Mahakarya Indonesia, peserta pameran JIBB. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 14 Oktober 2016)