Terbentuknya tim siaga baik di desa maupun di sekolah belum menjamin kesiapan mereka untuk menghadapi bencana yang sesungguhnya karena simulasi rata-rata hanya dilakukan sekali pada saat ada dana dari pihak luar yang mendukung. Program pembangunan di tingkat desa belum menyasar kebutuhan perlindungan aset penghidupan warga dari ancaman bencana. Lalu inikah yang disebut dengan ketangguhan?
Sepuluh tahun berlalu semenjak pemerintah Indonesia menandatangani komitment global untuk kerangkan aksi pengurangan risiko bencana (Hyogo Framework for Action 2005-2015). 10 tahun pelaksanaan HFA, terdapat pencapaian dari pandangan garda depan di level lokal yg langsung berhadapan dengan bencana (hasil monitoring di tingkat lokal “Views from the Front Line 2009 – 2015†yang dilakukan oleh YAKKUM Emergency Unit bekerjasama dengan Forum PRB DIY).
Mereka adalah masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah yang berada di kabupaten hingga desa dan dusun. Pelaksanaan kerangka kerja global HFA dianalogikan sebagai “Mendung Tapi Sedikit Hujanâ€, artinya perubahan di tingkat lokal belum dirasakan secara signifikan. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi yaitu:
- Kerangka kerja HFA bukan sebagai sebuah komitment yang mengikat bagi negara-negara yang mendandatangani, sehingga tidak ada sanksi jika pencapaian tidak terlalu significant.
- Belum semua pemangku kepentingan di daerah hingga di tingkat lokal mengetahui dan memahami HFA.
- Belum ada mekanisme monitoring di tingkat lokal yang dapat dikonsolidasikan sebagai sebuah kesatuan laporan nasional dalam pencapaian HFA.
- Laporan nasional belum memotret pencapaian dan kondisi real di di daerah dan lokal.
Penambangan liar di Wonosobo (Dok. krjogja.com)