PELAJARAN yang dapat dipetik dari kasus Dimas Kanjeng di antaranya ialah makin menguatnya budaya instan di kalangan masyarakat kita. Koentjaraningrat menyebutnya budaya jalan pintas. Padahal sesepuh kita sering menasihati bahwa untuk mencapai sesuatu cita-cita yang luhur harus melalui laku atau jalan panjang yang disertai usaha prihatin. Dalam bahasa ilmiahnya harus ada 'etos kerja' yang mengacu kepada inner-worldly orientation (orientasi kepada dunia batin) dan this-worldly orientation (duniawi-material). Jika dua hal itu diseimbangkan maka akan muncul self-fulfillment dan self realization, yakni kepuasan batin.
Apa yang terjadi sekarang ini menunjukkan bahwa laku sebagaimana dinasihatkan para sesepuh itu tidak ada. Apakah fakta ini merupakan representasi etos kerja bangsa yang kini kian memudar?
Sejarawan Prof Sartono (1988) menyebutkan, etos bangsa adalah totalitas kebiasaan yang terwujud dalam segala sikap dan kelakuan manusia. Etos ini perlu diarahkan ke realisasi eksistensi bangsa agar tidak hanya meningkat taraf hidupnya, namun juga mempertinggi kualitas hidup dan martabatnya.
Pertanyaan ini penting sekali dijawab karena dalam segala bidang kehidupan, unjuk kerja atau performance bangsa kita nampak kalah. Di level pemerintahan misalnya, sudah tidak ada unjuk kerja yang melayani rakyat sebagaimana dicerminkan tingginya angka korupsi.
Dunia pers utamanya media TV yang notabebe menjadi panutan masyarakat, terus mem-brain washing masyarakat lewat iklan atau berita yang membawa kepada pelemahan etos bangsa karena bernuansa budaya instan dan hedonis. Media elektronik sibuk menjual kekonyolan (lewat lawakan yang tidak cerdas, kebanci-bancian, kekerasan dan seterusnya), sinetron menjual air mata, hedonisme, nafsu amarah, konsumtivisme dan seterusnya. Dalam tayangan iklannya juga setali tiga uang. Terus memompakan bahwa yang ideal itu ialah yang cantik, berkulit putih, rambut panjang, memiliki kartu kredit, pakai mobil dan lainnya.
Jelas bahwa iklan konyol akan menjadi ancaman jika terus mengembangkan ‘industrialisasi pikiran’ tanpa dibarengi pemahaman dimensi spiritualitas-etik. Serta rendahnya kemampuan dan kebebasan publik yang mengonsumsinya untuk menafsirkannya. Dekonstruksi teologis dalam diskursus postmo mengajak ke hakikat kehidupan, dan ini dapat dilakukan jika manusia melakukan transendensi terus-menerus. Juga dalam dunia birokrasi, pendidikan, pers, reduksionisasi fakta dalam bingkai kapitalistik telah meremukredamkan nilai-nilai kemanusiaan.
Akibatnya, bangsa yang sangat besar ini, kini jadi bulan-bulanan bangsa lain. Kedelai, beras, gula, gandum, sayur, buah, ikan, tekstil dan lainnya - yang notabene merupakan kekayaan kita di masa lalu - ini harus impor. Sebaliknya, etos kerja yang luar biasa ditunjukkan bangsa China, Korea dan Jepang. Mereka adalah sosok bangsa yang sanggup mengawinkan kebudayaan dan etos kerja yang luar biasa dalam setiap gerak langkahnya.
Bagaimana etos kerja dan etos bangsa dapat dibangkitkan? Jawabnya tentu dari dunia pendidikan. Pemerintah mesti serius membenahi sektor ini. Dunia pendidikan tidak hanya menanamkan aspek kognitif yang diukur dari keberhasilan di Ujian Nasional, namun juga aspek etos kerja lainnya. Seperti kreativitas siswa, disiplin, tanggung jawab, tahan banting, dan aneka keterampilan psikomotorik lainnya yang mendukung terbentuknya etos bangsa. Tuntutan ini tidak mudah, karena menyangkut berbagai masalah, mulai dari hulu sampai hilir. Mulai sistem rekrutmen calon guru, pembenahan lembaga penghasil guru, sampai masalah keteladanan di berbagai level pemerintahan lainnya.