KEKERASAN remaja yang kembali marak bahkan membawa korban, bukanlah kali pertama terjadi. Ibarat sekam, berita tentang kekerasan remaja-remaja asli Yogyakarta bisa jadi merupakan pucuk gunung es yang tidak berdiri sendiri. Ada kecenderungan yang begitu kuat soal bagaimana masyarakat Yogya, tidak hanya kaum mudanya, terlihat lintang-pukang dalam menghadapi pesatnya perubahan sosial di tlatah mereka sendiri.
Kecuali kasuistik, kekerasan selalu bersifat struktural sekaligus sistematis. Struktural berarti kekerasan itu muncul sebagai residu dari struktur. Sistematis berarti kekerasan tersebut tidak terjadi karena spontanitas. Pola yang berulang dan terjadi secara gerilya menunjuk pada karakter sistematik dari kekerasan ini.
Anomali Total
Aneka bentuk kekerasan tidak pernah lepas dari konteks besar masyarakat pada umumnya. Bahwa kaum muda Yogya terberitakan saling membunuh bukan saja bahwa ada geng motor yang menguasai wilayah-wilayah tertentu (KR, 3/10). Tetapi kekerasan ini merupakan sebentuk anomali total terhadap kultur Yogya yang santun.
Pembicaraan di tingkat remaja SMP ataupun SMA menunjuk pada legitimasi kolektif untuk membawa serta senjata tajam sebagai bekal wajib ke sekolah. Ke sekolah bukan lagi untuk belajar, tetapi bisa jadi untuk survive ataupun tujuan-tujuan lain yang muncul dari tekanan kelompok (peer group).
Pastilah bukan soal kesantunan yang sudah pudar. Jauh lebih mendasar adalah, bahwa masyarakat asli Yogya menunjukkan frustasi epidemiknya secara terang-terangan. Gencarnya budaya dari luar Yogya masuk dalam semua lapis masyarakat Yogya menimbulkan sesak napas kultural yang tak tertahankan.
Bukan melulu soal ‘rebutan pangan’ alias kompetisi ekonomi, melainkan jauh lebih mendasar adalah bagaimana semakin mengecil (sekaligus hilang) wilayah-wilayah sosial yang bisa diklaim oleh masyarakat asli Yogya. Tanpa mengurangi rasa hormat pada setiap bentuk pekerjaan halal, warga asli Yogya yang menduduki pos-pos penting dalam sebuah perusahaan bisa dihitung dengan jari. Selebihnya, begitu banyak warga asli Yogya yang ‘terjebak’dalam pekerjaan-pekerjaan pinggiran. Entah sebagai tukang parkir, entah sebagai calo, entah sebagai bawahan. Ekspansi bisnis setali tiga uang dengan ekspansi budaya. Fakta bahwa pelaku kekerasan adalah remaja asli Yogya menegasikan hipotesis kalau pelajar-pelajar Yogya terkontaminasi oleh kultur non-Yogya dari para pelajar luar Yogya.
Frustasi Kultural