Kekerasan remaja Yogya bisa dikategorikan sebagai fenomena struktural. Dikatakan sebagai fenomena, karena memang gejalagejala luaran yang faktual mengenai kekerasan oleh dan dari kaum remaja/anak muda Yogya mengaktualkan apa yang menjadi jerohan (nomen permasalahan multidimensi masyarakat Yogya. Apakah pelaku kekerasan tersebut merupakan produk gagal Yogya?
Tidak bisa dikatakan demikian. Tetapi kalau perilaku kekerasan tersebut merupakan ampas dari masivitas perubahan sosial yang tak terbendung laiknya juggernaut, hal ini sangat logis. Yang jelas, Yogya sekarang memang semakin semrawut, sesemrawut papanpapan iklan di sepanjang jalan yang berjubel sana-sini dengan pelbagai tawaran. Setiap sudut di kawasan perkotaan Yogya seolah menjadi jengkal tanah asing, tidak hanya karena banyaknya pendatang di Yogya ini. Tetapi tanah tersebut tidak lagi bisa diklaim baik secara ekonomi maupun budaya oleh masyarakat asli Yogya.
Masyarakat asli Yogya bisa jadi malah menjadi warga asing di tanah kelahiran sendiri. Kecuali pelosok-pelosok desa yang sejuk oleh bantaran sawah dan tegur sapa pada semua orang dengan senyum khas. Adakah kesantunan itu memang sekedar gincu kultural untuk menyembunyikan betapa penat dan frustasinya masyarakat asli Yogya kehilangan identitas dirinya? Inilah istimewanya Yogya yang kita cintai.
(Tulus Sudarto Pr. Rohaniwan Paroki St Theresia Sedayu. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 6 Oktober 2016)