Pilkada 2017 dan Banalitas Politik Digital

Photo Author
- Rabu, 5 Oktober 2016 | 04:18 WIB

TAHAPAN ritus pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017 kian gemuruh. Salah satu penyebabnya adalah Pilkada 2017 juga mengikutsertakan Pilkada DKI Jakarta yang kita ketahui cukup menyita perhatian dan atensi publik. Apalagi bagi sebagian besar partai politik, kontestasi Pilkada DKI Jakarta dapat menjadi salah satu ajang pertaruhan citra politik--jika kemudian berhasil menjadikan calon yang diusungnya memimpin pemerintahan DKI Jakarta (Kedaulatan Rakyat, 26/9/16). Itu mengapa kemudian hajatan Pilkada 2017 kian semarak terutama dalam langgam politik digital. Apalagi dekade terakhir politik digital memegang peranan penting dalam setiap kontestasi politik baik lokal maupun nasional.

Dengan kemajuan teknologi, media sosial dapat memunculkan terobosan bagi publik untuk dapat saling berinteraksi tanpa batas hingga menggalang dukungan terkait agenda sosial maupun politik. Hal itu disebabkan media sosial memiliki karakter partisipatoris, murah, cepat dan nonhierarki yang kemudian dapat mengikis sikap apati politik publik. Bahkan, lewat media sosial publik dapat menggalang dukungan untuk memperjuangkan isu spesifik dalam masyarakat yang kemudian diafirmasi dan dipenuhi oleh negara. Sebut saja melalui gerakan tagar pesan di media sosial (Jati WR, 2015).

Akun Anonim

Hal itulah yang menyebabkan mengapa para netizen dengan berbagai cara digunakan untuk memberikan bantuan kepada pasangan pilihannya. Bahkan, sejumlah akun media sosial sengaja dibuat untuk kepentingan kampanye politik termasuk menggunakan akun-akun anonim. Dengan merebaknya akun-akun anonim inilah yang kemudian membuat politik digital kian banal. Sebab netizen akan terpolariasi sesuai dengan pilihan politik masing-masing. Padahal kita tidak pernah mengetahui siapa, apa dan tujuan yang ingin disampaikan oleh akun-akun anonim tersebut. Meski demikian, kita lantas tidak berhak untuk melarang setiap orang untuk membuat akun-akun anonim.

Akan tetapi, bila keberadaan akun-akun anomim tidak diimbangi literasi digital, dikhawatirkan ranah politik digital kemudian tidak ubahnya seperti arena caci-maki dan saling fitnah antarpendukung. Artinya, kampanye politik digital tidak lebih seperti banalitas politik yang lebih mengarah kepada hal-hal yang tidak substansial dan cenderung menyakitkan hati pendukung masing-masing.

Eksesnya banalitas politik digital ini dapat menggiring model kampanye politik yang membosankan dan menjenuhkan bagi sebagian orang. Sebab, materi yang disampaikan tidak lebih dari sekadar upaya melebih-lebihkan dan menjelek-jelekkan calon kandidat politik yang berakhir fitnah hingga pada pembunuhan karakter. Nahasnya lagi, materi kampanye politik digital kerap diselimuti oleh benih-benih sentimen primordial, terutama terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Hal inilah yang dikhawatirkan dapat mengancam modal sosial bangsa Indonesia yang selama ini kian pluralis.

Alih-alih mewujudkan kampanye politik sebagai ajang pertukaran gagasan antarcalon pendukung. Ironisya, justru bergeser menjadi ajang banalitas politik yang kian akut. Jika gejala ini terus larut, dikhawatirkan model kampanye politik digital seperti ini justru dapat berdampak pada menurunkan daya tarik pemilih, terutama pemilih muda untuk aktif terlibat dalam bilik-bilik suara. Padahal, sejatinya tahapan pilkada haruslah dimulai dengan prosesi kampanye politik yang bertujuan sebagai proses pembelajaran kepada publik untuk turut serta mengembangkan demokrasi.

Kesantunan

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X