EKONOMI liberal dengan segala instrumennya telah melibas pranata ekonomi komunal di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Kompetisi super ketat dalam ekonomi pasar bebas menjadikan perilaku bisnis melebihi keburukan kaum bar-bar. Wal hasil, korbannya masyarakat umum semakin termarginalkan.
Dalam konteks Indonesia, sangat terasa pola bisnis yang nihil etika. Bahkan, dalam pekan ini kembali muncul praktik bisnis kotor. Setelah heboh vaksin palsu, kini kasus pizza berbahan baku barang basi mengemuka. Ternyata korporasi bercitra tinggi tidak menjamin produk berkualitas. Kasus ini hanya fenomena gunung es akibat dari keserakahan kaum pemodal.
Pencaplokan korporasi lokal oleh asing melalui berbagai skema akuisisi terus berlanjut. Bahkan, BUMN yang harusnya menjadi sumber fiskal negara sekaligus pemegang mandat startegis perekonomian negara telah dikontrol asing melalui skema privatisasi dengan label keren go public. Akankah praktik keserakahan ekonomi dalam skala makro maupun mikro dibiarkan melembaga yang seakan sebuah kewajaran?
Pada sisi lain, pragmatisme konsumen yang abai pada komitmen dan keberpihakan menjadikan stimulus sistem ekonomi pasar bebas tumbuh suburnya. Teori kepuasan konsumen ala barat menjadikan konsumen kehilangan nalar ekonomi yang pada hakekatnya harus berpihak. Namun, pilihan konsumen jangka pendek yang lebih mementingkan kepuasan sesat yang kamuflatif mmenjadikan ekonomi lokal semakin meredup.
Di tengah arus global ini, hanya ideologi yang akan mampu meredam dampak negatif ekonomi liberal. Munculnya semangat keberpihakan seperti yang dilakukan oleh kepala daerah dan masyarakat di Kabupaten Kulonprogo dengan tagline Bela-Beli menjadi oase dan best practices pengungkit nasionalisme ekonomi. Bela-beli tidak saja praktik bisnis produksi dan konsumsi yang mengutamakan lokalitas, namun juga meluruskan orientasi pemikiran dan logika ekonomi yang menjauh dari hakekatnya.
Ekonomi bela-beli sebenarnya banyak yang mewacanakan namun gagal dalam transformasi dan aktualisasi. Slogan Aku Cinta Produk Indonesia tidak membumi karena elit tidak mampu menjadi tauladan. Slogan yang tumbuh bukan dari ideologi hanya menjadi sampah dan jargon semu. Gagal paham dan lembeknya ideologi keberpihakan menjadikan berbagai slogan dan program pembangunan tumpul dalam realita.
Dalam skala lokal, ekonomi bela-beli mampu menimbulkan kesadaran kritis pada warga dan elit sebagai konsumen. Tidak semua kepuasan didapat dari merek, label, dan attribut produk dan jasa yang oleh pemodal sengaja dikonstuksi menggiurkan. Bela-beli mampu mengembalikan kepuasan juga bisa diperoleh dari praktik bisnis yang berpihak. Spirit keberpihakan itulah yang menjadikan utilitas konsumen meningkat.
Tentu saja scale-up spirit ekonomi bela-beli tidaklah mudah. Ideologi ekonomi butuh regulasi untuk melembagakan sebagai gerakan. Kebijakan publik mutlak diperlukan untuk mengaktualisasi keberpihakan ekonomi. Intensitas dan konsistensi haruslah terjaga dalam menjalankan praktik bisnis, baik dalam konteks produksi maupun konsumsi.