RISET kita (masih) dalam rezim teknologi(sasi) dan ekonomi(sasi). Segalanya dihitung atau dianalisis dalam mekanisme, prosedur dan ruang teknologis dan ekonomis. Kelebihannya, perubahan yang bersifat fisik dan ekonomi seharusnya dapat diperkirakan. Kelemahannya, ruang yang menjadi ‘objek’ riset tak melulu ruang teknologi dan ruang ekonomi.
Contoh yang cukup penting disinggung, adalah riset pariwisata. Sekarang, hampir semua daerah ingin mengembangkan daerahnya menjadi tujuan wisata. Tujuannya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Titik kalkulasi terpenting adalah peningkatan indeks ekonomi. Implikasinya diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Kita tidak bisa menyalahkan paradigma itu. Karena, itu soal pilihan dan strategi. Hal yang bermasalah adalah pilihan ideologis banyak daerah untuk memodernkan wisata yang sepenuhnya dikendalikan kekuatan teknologi dan ekonomi kapitalisme. Di beberapa daerah wisata yang menonjol, yang terjadi adalah teknologisasi dan kapitalisasi wisata (budaya) yang hanya dinikmati segelintir orang. Masyarakat kebanyakan daerah bersangkutan tidak lebih menjadi penonton dan pekerja rendahan. Tanpa disadari, banyak riset mendukung ke arah itu.
Memaket Lokalitas
Kembali ke persoalan, bagaimana menempatkan riset dalam perspektif kebudayaan. Hal penting yang perlu dipahami bersama bagaimana kita mengkonsepsikan kebudayaan. Kita harus mengakui, selama ini yang terjadi adalah kebudayaan merupakan proses negosiasi banyak hal dan banyak kepentingan yang pada akhirnya kita harus menyesuaikan diri dan/- atau kalah dengan modernisme.
Kemudian, kita berlomba untuk menjadi modern. Ternyata, dalam perjalanannya, orang modern merindukan sesuatu yang ‘alamiah’, yang tradisi dan keunikan lokal. Pada akhirnya, kita memaket-maket tradisi dan lokalitas untuk layak ditonton orang modern. Tradisi dan keunikan lokal pun menjadi komoditas, bukan tradisi dan keunikan itu sendiri. Komoditasi itu yang penulis maksud sebagai budaya tradisi yang dijual dalam kalkulasi ekonomi (dan sebagian di antaranya kalkulasi teknologi).
Artinya, secara ideologis riset-riset juga telah memberikan keberpihakan pada proses-proses modernisasi, yang di belakangnya secara langsung didominasi rezim teknologi dan ekonomi yang sekuler. Masyarakat digiring ke dalam suatu ruang yang sebetulnya bukan habitus budayanya yang asli. Paling merepotkan adalah bila masyarakat tidak masuk ke dalam rezim yang sedang dominan itu, mereka akan terpinggirkan dan terkalahkan terus.
Menurut pengamatan penulis, ini juga berkaitan, bahwa peneliti yang mempertahankan posisi kelas ekonomi mereka seolah berposisi sebagai seorang yang netral, tetapi sebetulnya tidak lebih sebagai instrumen pihak penguasa ekonomi dan teknologi. Peneliti akhirnya hanya menjadi legitimasi bagi langgengnya kekuasaan yang tidak berpihak kepada kondisi nilai-nilai masyarakat.