Riset dalam Perspektif Kebudayaan

Photo Author
- Rabu, 7 September 2016 | 10:49 WIB

RISET kita (masih) dalam rezim teknologi(sasi) dan ekonomi(sasi). Segalanya dihitung atau dianalisis dalam mekanisme, prosedur dan ruang teknologis dan ekonomis. Kelebihannya, perubahan yang bersifat fisik dan ekonomi seharusnya dapat diperkirakan. Kelemahannya, ruang yang menjadi ‘objek’ riset tak melulu ruang teknologi dan ruang ekonomi.

Contoh yang cukup penting disinggung, adalah riset pariwisata. Sekarang, hampir semua daerah ingin mengembangkan daerahnya menjadi tujuan wisata. Tujuannya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Titik kalkulasi terpenting adalah peningkatan indeks ekonomi. Implikasinya diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Kita tidak bisa menyalahkan paradigma itu. Karena, itu soal pilihan dan strategi. Hal yang bermasalah adalah pilihan ideologis banyak daerah untuk memodernkan wisata yang sepenuhnya dikendalikan kekuatan teknologi dan ekonomi kapitalisme. Di beberapa daerah wisata yang menonjol, yang terjadi adalah teknologisasi dan kapitalisasi wisata (budaya) yang hanya dinikmati segelintir orang. Masyarakat kebanyakan daerah bersangkutan tidak lebih menjadi penonton dan pekerja rendahan. Tanpa disadari, banyak riset mendukung ke arah itu.

Memaket Lokalitas

Kembali ke persoalan, bagaimana menempatkan riset dalam perspektif kebudayaan. Hal penting yang perlu dipahami bersama bagaimana kita mengkonsepsikan kebudayaan. Kita harus mengakui, selama ini yang terjadi adalah kebudayaan merupakan proses negosiasi banyak hal dan banyak kepentingan yang pada akhirnya kita harus menyesuaikan diri dan/- atau kalah dengan modernisme.

Kemudian, kita berlomba untuk menjadi modern. Ternyata, dalam perjalanannya, orang modern merindukan sesuatu yang ‘alamiah’, yang tradisi dan keunikan lokal. Pada akhirnya, kita memaket-maket tradisi dan lokalitas untuk layak ditonton orang modern. Tradisi dan keunikan lokal pun menjadi komoditas, bukan tradisi dan keunikan itu sendiri. Komoditasi itu yang penulis maksud sebagai budaya tradisi yang dijual dalam kalkulasi ekonomi (dan sebagian di antaranya kalkulasi teknologi).

Artinya, secara ideologis riset-riset juga telah memberikan keberpihakan pada proses-proses modernisasi, yang di belakangnya secara langsung didominasi rezim teknologi dan ekonomi yang sekuler. Masyarakat digiring ke dalam suatu ruang yang sebetulnya bukan habitus budayanya yang asli. Paling merepotkan adalah bila masyarakat tidak masuk ke dalam rezim yang sedang dominan itu, mereka akan terpinggirkan dan terkalahkan terus.

Menurut pengamatan penulis, ini juga berkaitan, bahwa peneliti yang mempertahankan posisi kelas ekonomi mereka seolah berposisi sebagai seorang yang netral, tetapi sebetulnya tidak lebih sebagai instrumen pihak penguasa ekonomi dan teknologi. Peneliti akhirnya hanya menjadi legitimasi bagi langgengnya kekuasaan yang tidak berpihak kepada kondisi nilai-nilai masyarakat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X