Melihat Kembali Hubungan Eksekutif - Legislatif

Photo Author
- Senin, 29 Agustus 2016 | 09:19 WIB

SISTEM perpolitikan dalam suatu negara adalah pilihan politik dari negara yang bersangkutan. Dalam bahasa KC Wheare, disebut resultante. Makna resultante adalah kesepakatan dasar para pengambil kebijakan yang didasarkan pada kondisi politik, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum saat kebijakan tersebut diambil. Jadi sifatnya sangat fluktuatif, disesuaikan kondisi pada saat itu. Karenanya sangat mungkin, suatu kebijakan dinilai baik dan tepat dalam suatu kondisi/- masa, namun dianggap buruk dan kurang tepat pada saat yang lain.

Dalam kaitannya dengan hubungan eksekutif-legislatif, Bangsa Indonesia telah menentukan bahwa sifat hubungan antara keduanya adalah saling mengontrol dan mengimbangi (check and balances). Pilihan terhadap sistem ini dilatarbelakangi otoritarianisme masa pemerintahan orde lama dan orde baru pada dekade lalu. Dalam kedua orde ini, eksekutif menjadi sangat berkuasa karena tidak ada lembaga lain yang berperan untuk mengawasi dan mengontrolnya. Bahkan pada masa ini, legislatif yang seharusnya menjalankan pengawasan terhadap eksekutif, sebaliknya tidak memiliki peran apa-apa karena berada di bawah kungkungan presiden.

Mayoritas anggota parlemen ditunjuk oleh presiden, sehingga dengan mudah presiden dapat menggantinya dengan yang lain jika mereka tidak ‘taat’ pada instruksi presiden. Trauma dengan pengalaman masa lalu, akhirnya pada masa reformasi memberikan kewenangan yang begitu besar kepada legislatif dalam rangka menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah (eksekutif). Hampir seluruh kebijakan yang diambil pemerintah membutuhkan persetujuan dari legislatif. Hal ini yang kemudian menjadi problem utama pada tataran praktik.

Pejabat Negara

Dalam menunjuk pejabat negara misalnya tampak jelas. Hampir seluruh pejabat negara yang ditentukan menjadi kewenangan presiden untuk menunjuknya (selain menteri dan anggota KY) membutuhkan persetujuan dari DPR. Termasuk juga kebijakan lain yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab presiden sebagai pelaksana UU, membutuhkan persetujuan DPR. Sehingga menimbulkan beberapa dampak negatif bagi jalannya pemerintahan.

Pertama, menyulitkan presiden untuk mewujudkan visimisi atau program-programnya yang telah disusun semenjak masa kampanye. DPR kerap kali menjegal kebijakan presiden, padahal kebijakan itu adalah untuk memenuhi janji politik presiden pada saat kampanye.

Kedua, memungkinkan terjadinya lobi-lobi politik oleh DPR agar kebijakan presiden dapat disetujui, lobi-lobi yang syarat dengan kepentingan elite politik. Ketiga, menghilangkan kebebasan presiden untuk mengambil langkah bebas dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Padahal sejak semula Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai negara dengan sistem presidensiil.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga merupakan anggota partai politik dalam menentukan suatu kebijakan pasti tidak pernah lepas dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya (Mahfud MD: 2009), serta dari kepentingan-kepentingan politik partai politiknya masing-masing. Sudah menjadi rahasia umum keputusan yang diambil DPR berbanding terbalik dengan apa yang diinginkan oleh rakyat. Sistem recall yang diatur dalam UU Parpol mengungkung anggora parlemen untuk tidak dapat berbuat lain dari kebijakan partai, menjadi boneka partai.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X