Pendidikan yang Memerdekakan

Photo Author
- Kamis, 18 Agustus 2016 | 10:54 WIB

BUKAN full day school (FDS), tetapi di sekolah sehari penuh (DSSP). Demikian klarifikasi Mendikbud tentang wacana FDS yang riuh mendapat penolakan sebagian masyarakat. Dalam FDS terjadi kegiatan belajar mengajar dalam sehari penuh dari pukul 07.00 sampai dengan 17.00. Sedangkan dalam DSSP kegiatan belajar mengajar pada pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.00, sedangkan sisa waktu sampai dengan pukul 17.00 anak di sekolah melaksanakan kegiatan ekstra kurikuler dan ko-kurikuler. Dalam pemaknaan yang kedua inilah diharapkan sekolah mampu membentuk karakter anak didik lebih baik karena mengeliminasi pengaruh buruk lingkungan.

Pendidikan sangat penting artinya bagi suatu bangsa. Bangsa terjajah rata-rata pendidikannya tidak maju. Kemerdekaan suatu bangsa membutuhkan pendidikan sebagai modal utamanya. Itulah yang disadari Ki Hadjar Dewantara. Tanpa jiwa merdeka tertanam pada setiap diri anak bangsa, tidaklah mungkin anak bangsa itu berjuang menggapai dan mengisi kemerdekaan bangsanya. Menanamkan jiwa merdeka hanya dapat dilakukan dengan pendidikan.

Perang Wacana

Tidak sembarang pendidikan mampu menumbuhkan jiwa merdeka. Hanya pendidikan yang merdeka yang dapat memerdekakan. Pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang merdeka prosesnya dan merdeka pula produknya. Dengan kata lain, diperlukan cara-cara pendidikan yang memerdekakan yang dapat menghasilkan manusia merdeka.

Ki Hadjar Dewantara mengatakan makna kemerdekaan itu tidak sekadar lepas dari penjajahan. Sebagaimana pupuh tembang Asmaradana karya beliau ; , ”... mardika iku jarwanya, nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa, amandhireng pribadi, ...”.. Kemerdekaan fisik itu penting, tetapi jauh lebih penting kemerdekaan jiwa. Memerdekakan jiwa tugas pendidikan tiada akhir.

Gagasan DSSP dengan pendidikan yang memerdekakan seperti tidak dalam satu lini yang sama. DSSP terkesan ‘memenjarakan’ anak didik di sekolah. Sedangkan pendidikan yang memerdekakan sebaliknya. DSSPsampai saat ini belum jelas segala sesuatunya. Konsep, rujukan, dasar hukum, dan teknis implementasinya belum ada. Merespons gagasan DSSP yang diwacanakan Mendikbud lebih berdasar kepada asumsi dan persepsi. Perang wacana.

Mengelola anak didik seharian tinggal di sekolah tidaklah mudah. Setidaknya diperlukan tata tertib yang ketat agar anak didik ‘patuh’ dan ‘taat’. Padahal, ketertiban kaku dan cara paksaan dalam pendidikan harus dihindari jika maksud pendidikan untuk menumbuhkan jiwa merdeka anak didik.

Bagaimana agar DSSP terlaksana dalam konteks pendidikan yang memerdekakan? Perlu kesiapan sekolah, orangtua murid dan masyarakat sebagai ekosistem pendidikan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X