SEMAKIN maraknya pembangunan infrastruktur seiring dengan pesatnya pembangunan dan pemekaran wilayah menjadi ancaman utama penurunan integritas nilai-nilai konservasi di Indonesia. Dampaknya adalah pada terfragmentasinya habitat alami dari tumbuhan dan satwa liar, peningkatan eksploitasi sumber daya alam melalui aktivitas pertambangan dan penebangan hutan. Serta penurunan kualitas habitat alami akibat introduksi tanaman maupun satwa invasif, dan dampak dari pembuangan aktivitas pertambangan di sekitar kawasan.
Pelaksanaan kegiatan konservasi dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, haruslah menjadi komitmen dan tanggung jawab seluruh masyarakat secara luas. Kebijakan nasional maupun internasional tidak akan berarti tanpa dukungan masyarakat secara luas. Karena itu, tema Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) tahun 2016 ini adalah ‘Konservasi untuk Masyarakat’. Peringatan nasional dilaksanakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Taman Nasional Bali Barat, Bali. Sebagai penghargaan karena keberhasilan masyarakat sekitar kawasan konservasi dalam menangkarkan satwa dilindungi yang menjadi ikon Bali, yakni Jalak Bali (Leucopsarrothchildi).
Jalak Bali
Menurut Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Dr Tachrir Fathoni, KLHK akan memberikan burung Jalak Bali ke masyarakat untuk ditangkarkan, sebagai bentuk apresiasi masyarakat yang peduli dengan konservasi. Langkah ini diambil untuk mengajak masyarakat melakukan konservasi terhadap satwa liar dilindungi sekaligus membuka peluang sumber pendapatan lainnya. Saat ini hanya ada 64 ekor Jalak Bali di habitat aslinya di TN Bali Barat. Namun demikian sudah ada 3.700 ekor hasil penangkaran yang sukses dilakukan oleh masyarakat (Ditjen KSDAE KLHK, 2016).
Keberhasilan masyarakat penyangga kawasan konservasi TN Bali Barat dalam menangkarkan Jalak Bali menambah daftar keberhasilan masyarakat dalam mengelola kawasan lindung. Warga Dayak Wehea di Kalimantan Timur berhasil mengelola kawasan hutan adat seluas 38.000 hektare. Kawasan lindung Wehea yang terletak di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur ini masih terjaga keasliannya di tengah kepungan perkebunan sawit, HPH dan pertambangan.
‘Kelompok Pelindung Hutan’ yang dibentuk warga Dayak Wehea bertugas mengamankan kawasan hutan dari berbagai kerusakan baik dari aktivitas ilegal logging maupun bencana kebakaran hutan dan lahan. Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelestarian alam ternyata mendapat sorotan internasional. Terbukti merebut juara III dalam penghargaan Schooner Prize Award 2008 di Vancouver, Kanada.
Bahkan Kepala Adat Dayak Wehea ‘Bapak Ledjie’ diajak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk berbicara tentang keberhasilan mengelola kawasan lindung pada konvensi Perubahan Iklim Dunia di Paris, Perancis, pada Desember tahun 2015.
Masyarakat Turi