KRjogja.com - PONTIUS PILATUS Gubernur Romawi membawa Yesus keluar dan berkata: “Lihatlah manusia Ini”, Ecce Homo (Yoh 15:5). Ungkapan itu mengandung makna yang sangat dalam, seorang yang tak bercacat dan berdosa dimata Tuhan diperlakukan tidak manusiawi oleh para serdadu Romawi. Pilatus seakan mau mengatakan sesuatu yang ironis sekaligus absurd telah terjadi, yang selama ini dianggap Guru, Rabbi dan Mesias oleh orang Yahudi kini diperlakukan secara tragis, diarak, diludai , dimahkhotai duri dan akhirnya disalibkan.
Peristiwa historis 2000 tahun silam bagi umat kristiani seluruh dunia merupakan peristiwa paling besar dan mendalam, karena dari peritiwa Wafat dan KebangkitaNYa seluruh ajaran iman, dan tradisi keagamaan mendapat maknanya. Bahkan secara telogis penyusunan teks dibuat dalam kronologi terbalik atau dalam terang iman Paskah.
Baca Juga: Idham Samawi: Bukan Dukung 03 atau 01, yang Kita Perjuangkan untuk Menyelamatkan Negeri Ini
Solidaritas dan Penderitaan
Aspek yang paling menonjol dari “Ecce Homo” adalah makna solidaritas dalam penderitaan. Ketika Yesus dipertontonkan dalam kondisi lemah,hina dan disalahpahami, Dia tidak hanya menunjukkan Dia sebagai manusia sejati, namun justru Dia merasakan penderitaan yang dialami oleh manusia. Dia menanggung seluruh dosa manusia, dengan rela menderita sengsara di kayu salib hina. Ecce Homo mengajarkan kita untuk melihat belas kasih dan solidaritas Yesus sebagai panggilan untuk tertibat dalam penderitaan dan kesulitas sesame kita yang menderita.
Dalam momen Ecce Homo, Dia tidak berdiri sebagai sosok yang agung dan sempurna tetapi sosok yang merangkul semua kelemahan, penderitaan dan beban yang dialami oleh manusia. Dalam gurat kesengsaraan ada belas kasih dan kekuatan untuk mengangkat segala beban penderitaan manusia. Inilah gambaran solidaritas sejati, bahwa Sang Penebus, Mesias bukan yang langsung sebagai manusia kuat kuasa, punya power, bisa membuat apa saja dengan kekuasaanya, namun hadir dalam sosok yang lemah dan tak berdaya bersama dengan penderitaan manusia. Seperti dikutif dalam surat Paulus “Dia telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2: 7).
Baca Juga: Di Laut Jawa Terjadi Gempa, Para Pakar Heran
Kasih dan Pengampunan
Dalam kehidapan sehari-hari soal memaafkan dan mengampuni menjadi persoalan yang tidak mudah, begitu susahnya untuk mengatakan maaf dan meminta maaf. Namun dalam lukisan Ecce Homo, manusia bisa belajar kasih dan pengampunan yang tanpa batas. Inilah kerahiman Tuhan, Allah yang berbelas kasih, demi kebahagiaan manusia. Ia rela menderita sengsara demi keselamatan dan kebahagiaan manusia. Alangkah indahnya dunia ini jika kehidupan kita sehari-hari banyak orang menyediakan untuk rela hati menanggung beban sesama demi keberlangsungan tatan hidup yang bermartabat. Cinta agape, cinta Ilahi yang tidak menuntut balas itulah salah satu makna dari lukisan Ecce Homo.
Maria Katarina Sumarsih memegang lukisan kayu Ecce Homo, lukisan ini memberi kekuatan dalam aksi yang telah dilakukannya selama 17 tahun yang popular disebut sebagai aksi kamisan yang berlangsung di seputar simpang semanggi dan bundaran HI di Jakarta. Semua peserta aksi memakai kostum serba hitam sebagai tanda perkabungan atas tewasnya mahasiswa Trisakti, Bernadinus Realino Norma Irawan alias Wawan dalam aksi demostrasi pro reformasi 13 November 1998. Sumarsih sebagai inisiator aksi bisa bertahan aksi dalam diam selama 17 tahun, karena cinta.
Cinta tanpa batas, untuk mewartakan kebenaran dan keadilan dalam ketidakberdayaan namun terus menyuarakan. Walaupun sulit dan berhadapan dengan tirani kekuasaan, Ecce Homo memberi kekuatan bahwa kasih dan pengampunan adalah pilihan yang bisa kita buat, bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. Yesus memperlihatkan kepada kita bahwa solidaritas sejati melibatkan pengorbanan kasih tanpa syarat. Ibu Sumarsih mendapat inspirasi dan spirit dari lukisan Ecce Homo, ia terus berjuang tanpa menuntut balas hanya menyuarakan demi tegaknya kebenaran dan keadilan.
Baca Juga: BMKG: Waspadai Potensi Bahaya Sesar Sumatera di Sumatera Barat!
Hikmah untuk Kita
Lukisan Ecce Homo, wajah Yesus yang penuh luka dan lumuran darah menjadi pesan abadi sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ini terus relevan khusunya bagi umat kristiani yang mengimani Yesus sebagai sahabat sejati, yang menderita sengsara untuk kita manusia. Dalam dunia yang penuh dengan perpecahan, kebencian, dan ketidakadilan, kita bisa belajar banyak dari solidaritas Yesus. Dia mengajarkan kepada kita untuk melihat sesama manusia sebagai "saudara" sejati, untuk merangkul penderitaan mereka, dan untuk memperlihatkan kasih serta pengampunan. Saat kita menyaksikan banyaknya penderitaan di dunia, baik dalam konflik, kemiskinan, atau ketidakadilan sosial, "Ecce Homo" mengingatkan kita akan panggilan kita untuk bertindak.
Solidaritas sejati bukanlah hanya simpati tanpa tindakan, tetapi merupakan langkah konkret untuk berbagi beban penderitaan, memberikan kasih, dan mengampuni. Sekecil apa tinddakan baik yang kita lakukan, terutama kepada sesama yang menderita akan menjadi kekuatan untuk bertumbuh dan berdaya. Perhatian dan pengorbanan yang kita lakukan keopada sesama yang menderita menjadi bukti perwujudan nyata iman kita kepada Yesus Sang Guru solidaritas sejati. Semangat "Ecce Homo" terus menginspirasi kita untuk bertindak, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam perbuatan, dalam rangka membangun dunia yang lebih baik bagi semua manusia. Seperti kata santo Yakobus bahwa Iman tanpa perbuatan adalah mati. (D. Pujiyono Guru SMA Kolese de Britto)