Ancaman Pidana Money Politics

Photo Author
- Selasa, 26 November 2024 | 12:50 WIB
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH., MH.
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH., MH.

 

KRjogja.com - DEMOKRASI melalui penyelenggaraan pemilu yang adil, bebas, dan jujur merupakan pilar utama sistem pemerintahan yang memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam menentukan arah kebijakan negara. Namun, idealisme demokrasi ini kerap dirusak oleh praktik money politics (politik uang), yang terus menghantui setiap kontestasi politik, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Fenomena ini bukan hanya mencederai prinsip dasar demokrasi, tetapi juga melahirkan dampak sistemik yang mengancam keberlanjutan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

Secara sederhana, money politics adalah praktik memberikan imbalan materi, baik berupa uang, barang, maupun jasa, untuk memengaruhi pilihan politik seseorang. Praktik ini bukan sekadar pelanggaran moral dan etika, tetapi juga masuk kategori kejahatan yang bertentangan dengan esensi demokrasi.

Dengan mengubah proses pemilu menjadi transaksi ekonomi, money politics mengaburkan suara rakyat yang seharusnya mencerminkan aspirasi publik menjadi alat manipulasi demi kepentingan pribadi. Pemilu yang semestinya menjadi arena pertarungan gagasan berubah menjadi ajang membeli legitimasi elektoral.

Baca Juga: Panduan Lengkap Cek DPT Online Pilkada 2024 dan Syarat-syarat Menjadi Pemilih

Money politics muncul dari beberapa faktor, di antaranya rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya integritas pemilu dan ketimpangan ekonomi yang menjadikan uang sebagai daya tarik instan. Dalam situasi ekonomi sulit, banyak pemilih yang tergoda menerima uang atau barang, meskipun dampak jangka panjangnya merugikan.

Di sisi lain, kompetisi politik yang tidak seimbang, di mana calon dengan modal besar mendominasi, turut melanggengkan praktik ini. Para oligarki yang mendukung calon tertentu menjadikan politik uang sebagai investasi untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan akses terhadap sumber daya negara.

Dampaknya tidak main-main. Pemimpin yang terpilih melalui money politics cenderung bekerja untuk melayani kepentingan sponsor alias bouwheer (bohir) politiknya daripada rakyat. Money politics juga memperkuat budaya korupsi, karena biaya yang dikeluarkan untuk membeli suara sering kali dikembalikan melalui penyalahgunaan anggaran negara. Akibatnya, rakyat kehilangan kepercayaan pada sistem demokrasi, dan siklus kebobrokan ini terus berulang tanpa akhir.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah secara eksplisit melarang praktik money politics. Pasal 280 ayat (1) huruf j menyatakan bahwa peserta pemilu, pelaksana, tim kampanye, atau pihak lain dilarang memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih. Pelanggaran terhadap aturan ini dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 523.

Jika dilakukan saat kampanye, pelaku dapat dipenjara maksimal dua tahun dan didenda hingga Rp 24 juta. Jika terjadi pada masa tenang, ancaman hukuman meningkat menjadi empat tahun penjara dan denda Rp 48 juta. Bahkan pada hari pemungutan suara, ancaman hukumannya tetap signifikan, yaitu tiga tahun penjara dan denda hingga Rp36 juta.

Baca Juga: Prodi S1 Gizi UAA Gelar Guest Lecture Blobal Food Security Bersama Pakar Public Health Internasional

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada menetapkan ancaman pidana penjara tiga hingga enam tahun, serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp1 miliar. Lebih jauh lagi, jika praktik ini melibatkan penyelenggara pemilu, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana hingga lima tahun penjara dan denda maksimal Rp250 juta.

Tantangan dan Upaya Penegakan Hukum

Regulasi yang terkait dengan money politics memang sudah berlapis-lapis namun praktik money politics yang sering dilakukan secara terselubung, menyulitkan pembuktian hukum.
Kasus pork barrel politics alias politik gentong babi lewat penggelontoran bantuan sosial menjelang pemilu terutama di masa kampanye sulit dibuktikan secara hukum ada/tidaknya unsur money politics. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk melapor juga menjadi kendala besar.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X