YAMAN DAN HARGA DIRI : Kepemimpinan Spiritual dan Prospek Masa Depan
Oleh Hasyim Arsal Alhabsi
Di balik kekuatan militer dan jaringan strategi yang mengejutkan dunia, berdirilah satu tokoh yang menjadi wajah, suara, dan ruh dari perlawanan Yaman: Sayyid Abdul Malik al-Houthi. Sosok yang tidak mencolok secara fisik, tidak pernah muncul di panggung-panggung global, tetapi pidatonya menjadi semacam kompas moral dan ideologis bagi jutaan rakyat Yaman.
Di Bagian 3 ini, kita akan melihat bagaimana figur pemimpin ini membentuk identitas perlawanan modern, serta bagaimana struktur sosial-politik Yaman membangun jalan masa depan yang lebih bermartabat—tanpa harus meniru peta kekuasaan dunia yang timpang.
1. Sayyid Abdul Malik al-Houthi: Pemimpin Tanpa Seragam
Lahir dari keluarga sayyid yang bersambung nasab kepada Rasulullah SAW, Abdul Malik al-Houthi bukan jenderal perang dalam arti konvensional. Ia tidak berseragam, tidak membanggakan pangkat, dan tidak menampilkan kekayaan. Tapi dari mulutnya keluar kalimat-kalimat yang menggetarkan:
• “Kami tidak akan menyerah, bahkan jika kami harus makan daun pohon.”
• “Jika kehormatan kami diinjak, maka darah kami adalah jawabannya.”
• “Kami akan bersama Palestina, bukan hanya dengan kata, tapi dengan senjata.”
Baca Juga: Muhammadiyah Organisasi Keagamaan Terkaya Nomor 4 Dunia, Haedar Nashir Ungkap Hal Ini
Yang membuat al-Houthi istimewa bukan hanya karena garis keturunannya, tetapi karena ia menyampaikan pesan dengan ketulusan, kecerdasan spiritual, dan konsistensi yang menginspirasi. Ia bukan pencari kuasa. Ia adalah pemikul amanah sejarah yang berat—dan ia memanggulnya dengan kepala tegak.
2. Kepemimpinan Kolektif dan Struktur Sosial Ansarullah
Berbeda dengan gerakan-gerakan lain yang elitis dan sentralistik, Ansarullah memiliki struktur yang berbasis komunitas. Di dalamnya terdapat:
• Ulama dan tokoh adat yang menjadi penjaga moral komunitas.
• Komandan lapangan yang bekerja bersama rakyat, bukan di atas mereka.
• Sistem konsultasi yang meniru syura, namun tetap disiplin terhadap prinsip sentral: keadilan.
Kepemimpinan al-Houthi tidak didasarkan pada pemaksaan, tapi kepercayaan rakyat yang melihat bahwa ia hidup sederhana, tidak berjarak, dan konsisten. Ia menjadi simbol hidup dari harga diri yang dibela bukan demi kursi, tapi demi masa depan yang merdeka.
3. Bukan Negara, Tapi Berfungsi Seperti Negara
Meski tidak diakui secara internasional, pemerintahan Ansarullah di Sana’a menjalankan:
• Sistem distribusi pangan dan bantuan secara merata.
• Program pendidikan yang berorientasi pada harga diri, bukan hanya keterampilan kerja.
• Sistem hukum dan penyelesaian sengketa berbasis nilai Islam dan budaya lokal.
Rakyat di bawah pemerintahan ini bukan tanpa kritik, tapi rasa memiliki mereka sangat tinggi karena pemerintahan tidak datang dari luar, dan pemimpinnya tidak bersembunyi ketika bom jatuh.