4. Aliansi dengan Rakyat Palestina dan Poros Perlawanan
Di bawah kepemimpinan al-Houthi, Yaman secara terbuka menjadi bagian dari Poros Perlawanan, bersama:
• Hizbullah di Lebanon,
• Gerakan Syiah di Irak,
• Iran sebagai pusat strategi,
• Dan kini bahkan menarik simpati dari gerakan Sunni moderat di dunia.
Ketika agresi Israel di Gaza memuncak, hanya Yaman yang berani mengganggu jalur perdagangan laut dunia untuk membela Palestina. Mereka tidak peduli siapa yang mendukung atau mencela—yang mereka pedulikan adalah hati nurani umat manusia.
5. Dalam Kepungan, Tapi Penuh Potensi
Pertanyaannya: ke mana arah Yaman ke depan?
• Jika blokade dilonggarkan, Yaman punya potensi besar menjadi pusat regional kekuatan ideologis Islam.
• Jika diplomasi mulai dibuka, Yaman bisa menjadi penengah damai regional karena ia tidak berpihak pada rezim mana pun.
• Jika diberikan ruang di dunia internasional, Yaman bisa menunjukkan bahwa martabat bukan lawan dari pembangunan, tapi justru fondasinya.
Yaman tidak ingin menjadi negara ekspansionis. Mereka ingin hidup dengan damai, dengan syarat satu: jangan ganggu kehormatan kami.
Baca Juga: Menang 1-0 Atas Bahrain, Indonesia Jaga Peluang Lolos ke Piala Dunia 2026
6. Harga Diri Sebagai Aset Geopolitik
Dalam dunia yang penuh kompromi, Yaman adalah anomali. Di tengah perang, mereka membangun tekad. Dalam kelaparan, mereka tetap berdiri. Dalam kekurangan, mereka menciptakan kekuatan.
Yaman membuktikan bahwa harga diri bukan hanya urusan etika, tapi juga bisa menjadi kekuatan politik dan militer yang nyata. Mereka telah menjadi negara tanpa pengakuan tapi dengan kekuatan yang diakui.
Dan di sinilah keajaiban Yaman: mereka tidak minta dikasihani, tidak minta dipuji. Mereka hanya ingin dihormati. (Penulis adalah Deputi Bidan Perhubungan DPP Partai Demokrat)