Panggung 'On the Record', Komunikasi Politik Terbuka ala Presiden Prabowo

Photo Author
- Selasa, 8 April 2025 | 15:30 WIB
Nugroho Agung Prasetyo, S.Sos, MSi (Ist)
Nugroho Agung Prasetyo, S.Sos, MSi (Ist)

KRJogja.com - Ada yang tidak biasa dari sebuah siang pasca-Lebaran di ruang perpustakaan pribadi Presiden Prabowo Subianto. Di sana, selama hampir lima jam, tujuh jurnalis senior, baik dari beberapa media mapan maupun kritis. Mereka hadir duduk melingkar, bertanya langsung, dan mendengarkan langsung jawaban Presiden. Tidak ada moderator. Tidak ada daftar pertanyaan yang disaring, tidak ada off-the-record.

Pertemuan tersebut memang diselenggarakan secara on the record, tanpa seleksi pertanyaan sebelumnya. Dalam lanskap politik pasca pemilu yang penuh dinamika, langkah strategis dalam membentuk narasi, mengelola opini publik, dan membangun legitimasi kekuasaan secara demokratis seperti ini boleh dibilang merupakan sebuah peristiwa langka. Momen ini seakan menandai babak baru gaya komunikasi kepemimpinan Presiden Prabowo.

Presiden Prabowo dengan sadar membuka ruang tanya jawab langsung dan tanpa sensor kepada media. Dalam kerangka komunikasi publik, ini merupakan implementasi nyata dari prinsip transparansi dan akuntabilitas informasi.

Lebih lanjut, menurut Habermas (1989), komunikasi dalam ruang publik demokratis harus bersifat deliberatif. Ketika Presiden Prabowo menyatakan “semua boleh bertanya apa saja,” ia secara simbolik menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang siap berdialog, bukan sekadar memerintah.

Apa yang dilakukan Prabowo sesungguhnya adalah strategi komunikasi politik tingkat lanjut. Ia memilih untuk tidak menghindar dari pertanyaan sulit. Ia tahu jawaban langsung lebih kuat ketimbang klarifikasi di kemudian hari. Ia memilih menjawab dengan gaya kasual untuk membela diri, kadang bercanda, namun tetap menjaga kendali.

Alih-alih membiarkan media membentuk narasi sendiri atas isu-isu strategis, seperti UU TNI 2025, keterlibatan TNI di BUMN, hingga kebijakan devisa ekspor (DHE), Prabowo memilih untuk masuk langsung dalam ruang framing media.

Dalam komunikasi politik modern, siapa yang lebih dulu bicara, dan siapa yang menentukan isu apa yang dibahas publik, sering kali jauh lebih penting daripada siapa yang benar. Inilah medan perang utama dalam komunikasi politik hari ini: pertempuran memperebutkan narasi.

Presiden Prabowo Subianto tampaknya sangat memahami medan ini. Saat ia mengundang tujuh jurnalis kawakan ke ruang perpustakaan pribadinya pasca Lebaran, ia tidak sekadar membuka sesi tanya jawab. Ia sedang mempraktikkan sebuah konsep penting dalam ilmu komunikasi politik yang disebut agenda building. Praktek komunikasi politik di mana aktor politik berupaya mempengaruhi agenda media secara aktif.

Berbeda dengan agenda setting, yang menjelaskan bagaimana media memengaruhi apa yang dipikirkan publik, agenda building adalah langkah yang lebih awal dan lebih dalam, yakni bagaimana aktor politik memengaruhi media untuk membahas isu-isu tertentu dengan sudut pandang tertentu.

Menurut Lang & Lang (1983), agenda building adalah proses ketika elite politik, lembaga pemerintahan, atau tokoh masyarakat secara aktif mendorong isu, narasi, dan perspektif ke dalam ruang redaksi, agar media menjadikannya sebagai bagian dari agenda pemberitaan.

Dalam konteks ini, Presiden Prabowo bukan sedang menjawab pertanyaan. Ia sedang memilih medan wacana. Ia tidak membiarkan isu seperti RUU TNI, atau kebijakan penempatan pensiunan TNI dibentuk oleh rumor atau opini media sosial. Ia memilih untuk turun langsung ke pusat distribusi makna: redaksi media massa.

Dengan begitu, narasi yang muncul di media pasca wawancara bukan hanya berdasarkan asumsi atau bocoran, tetapi berasal dari sumber utama, yaitu Presiden itu sendiri.

Salah satu kekuatan komunikasi Presiden Prabowo terletak pada kemampuannya menyampaikan narasi yang berakar pada pengalaman personal dan nilai nasionalisme. Jawaban seperti “Saya tidak akan mengkhianati reformasi” adalah bentuk komunikasi naratif yang kuat. Ini adalah bentuk perpaduan antara retorika emosional, agenda building, dan narasi kepemimpinan populis, tetapi dalam kemasan elite yang disiplin.

Saat ia menyebut nilai 6 dari 10 untuk kinerjanya sendiri, itu bukan pengakuan kelemahan. Itu adalah cara cerdas menurunkan ekspektasi agar kejutan komunikasi politik berikutnya akan terasa lebih berhasil.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X