Presiden Prabowo memang memilih tidak sedang berbicara untuk menyenangkan semua orang, tetapi ia ingin didengar oleh semua pihak. Dengan cara itu, ia tidak menjadi pemimpin yang elitis, tapi juga tak sepenuhnya populis. Ia menjadi jembatan narasi antara elite dan akar rumput, yang keduanya kini seringkali saling mencurigai.
Menurut teori Narrative Paradigm dari Walter Fisher, manusia cenderung terpengaruh oleh cerita, bukan sekadar logika. Presiden Prabowo sesekali mengembangkan tehnik storytelling untuk membangun etos kepemimpinannya, sebagai figur reformis, tegas, terbuka, dan rendah hati.
Pemilihan tujuh jurnalis dari beragam media, dari TVRI hingga Narasi. Hal ini menggambarkan pendekatan inklusif dalam komunikasi politik. Di era ketika pemimpin politik mudah tergoda membatasi akses media, Prabowo justru mengundang media secara terbuka untuk berdiskusi.
Ini selaras dengan model komunikasi dua arah simetris (Grunig & Hunt, 1984) yang menempatkan media dan publik sebagai mitra komunikasi, bukan sekadar objek persuasi.
Dalam menjawab isu tarif Presiden Trump dan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE), Presiden Prabowo juga menunjukkan kombinasi diplomasi publik proaktif dan nasionalisme ekonomi yang rasional. Ia menegaskan posisi Indonesia yang terbuka untuk bernegosiasi, namun tetap menekankan prinsip kemandiriannya.
Komunikasi ini menegaskan Indonesia sebagai aktor global yang aktif dalam diplomasi ekonomi regional, tanpa kehilangan kedaulatan narasi nasionalnya.
Pertemuan ini menjadi cara menarik pemimpin politik dalam mengelola opini publik secara strategis tanpa kehilangan esensi demokrasi. Presiden Prabowo tidak sekadar membangun citra, tetapi juga menunjukkan kesiapan berdialog, menjawab kritik, dan membentuk narasi kebangsaan secara terbuka.
Presiden Prabowo mengakui bahwa komunikasi publik pemerintahannya perlu diperbaiki. Ini pengakuan jujur yang mencerminkan bahwa komunikasi bukan pelengkap kekuasaan, melainkan bagian dari inti kepemimpinan itu sendiri.
Dengan berbicara langsung kepada jurnalis, Presiden mengambil kendali narasi dan menyampaikan kebijakan ekonomi, diplomasi, dan reformasi birokrasi dalam konteks yang utuh. Di tengah kebisingan media sosial dan banjir disinformasi, langkah ini adalah upaya memulihkan otoritas suara negara secara kredibel.
Dalam dunia politik yang sering diwarnai simbolisme kosong, strategi komunikasi seperti ini membawa harapan baru: bahwa komunikasi politik bisa tetap jujur, ilmiah, dan sekaligus menginspirasi.
Pertemuan tersebut tentu menjadi contoh menarik gaya komunikasi kekuasaan yang lebih terbuka tetapi terkontrol, emosional tetapi rasional, dekat tetapi tetap penuh perhitungan. Ini adalah komunikasi politik gaya baru, yang tampak inklusif namun tetap mengandung struktur kendali narasi yang kuat. Beliau sadar, siapa mengendalikan narasi, maka akan dapat mengendalikan masa depan.
Apakah ini bentuk kemajuan demokrasi? Bisa jadi. Apakah ini bentuk penataan ulang kekuasaan? Juga mungkin. Namun yang pasti, dalam komunikasi politik, siapa yang berani bicara dan langsung, akan lebih unggul dari mereka yang sekadar bersuara lewat poster atau buzzer.
Dan dalam siang penuh tanya itu, Presiden Prabowo telah memilih: untuk menjawab, bukan menghindar. Tinggal kita menilai: apakah itu tanda kekuatan atau justru kecermatan strategi?
Komunikasi politik bukan lagi sekadar bagaimana seorang pemimpin berbicara, tetapi bagaimana ia membuka ruang untuk didengar dan diuji. Paling tidak melalui strategi terbuka dan terukur ini, Presiden Prabowo menunjukkan bahwa kekuasaan politik yang kuat tidak harus dibungkus dengan keheningan, tetapi justru dibangun melalui keberanian untuk terbuka. (*)
(Nugroho Agung Prasetyo, S.Sos, MSi / Praktisi Komunikasi ISKI Pusat & Dosen Komunikasi Universitas Bakrie)