Peradilan yang Terjual : Upaya Memutus Rantai Mafia Hukum

Photo Author
- Rabu, 16 April 2025 | 15:35 WIB
TM Luthfi Yazid (Dok. Pribadi)
TM Luthfi Yazid (Dok. Pribadi)

BERBAGAI media masa selama beberapa hari berturut-turut menurunkan beritanya di halaman depan, halaman utama, terkait mafia peradilan. Empat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi tersangka: Muhammad Arif Nuryanta (Ketua PN), Djuyamto (Hakim Ketua), Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Kejaksaan Agung juga menetapkan tiga tersangka lain: Wahyu Gunawan (Panitera Muda) serta pengacara Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso.

Suap senilai Rp 60 miliar diberikan agar perkara diputus onslag (lepas dari tuntutan). Pada 19 Maret 2025, putusan onslag dijatuhkan terhadap Permata Hijau Group (dituntut Rp 937,5 miliar), Wilmar Group (dituntut Rp 11,8 triliun), dan Musim Mas Group (dituntut Rp 4,8 triliun) atas kerugian perekonomian negara.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah menyatakan komitmen meningkatkan kesejahteraan hakim dan bertekad mengejar koruptor hingga ke ujung dunia. Namun, praktik koruptif masih terjadi. Pada Desember 2024, tiga hakim PN Surabaya didakwa menerima suap Rp 1 miliar dan 308.000 dolar Singapura untuk membebaskan terdakwa pembunuhan Gregorius Ronald Tannur. Kasus ini juga menyeret mantan pejabat MA yang diduga menerima gratifikasi selama 10 tahun dengan barang bukti hampir Rp 1 triliun dan 51 kg emas.

Masalah tidak hanya terjadi pada hakim. Jaksa dan pengacara juga terjerat kasus serupa. Jaksa Pinangki Malasari dipidana 10 tahun dan denda Rp 600 juta dalam kasus Djoko Tjandra. Jaksa lain yang terlibat kasus korupsi termasuk Devianti Rochaeni (Kejati Jabar), Fahri Nurmallo (Kejati Jateng), Farizal (Kejati Padang), dan Subri (Kejari Lombok Praya). Di kalangan advokat, nama-nama seperti Theodorus Yosep Parera, Eko Suparno, OC Kaligis, dan Kasman Sangadji juga terlibat kasus serupa.

Ironis bahwa penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan justru bermental korup. Pencari keadilan yang mengandalkan pengadilan kecewa. Seperti kata Goh Bee Chen (2002), "masuk pengadilan sama dengan masuk mulut harimau" dan "berperkara hanya mendatangkan masalah." Ungkapan lokal menyebutkan "memperjuangkan kambing tapi kehilangan sapi."

Mengganti semua hakim dengan generasi baru seperti usulan Daniel S. Lev bukanlah solusi realistis. Yang diperlukan, seperti pendapat Stephen P. Powers dan Stanley Rothman (2002), adalah penegak hukum yang tidak sekadar menjadi corong undang-undang, tetapi mampu melakukan judicial activism untuk menggali keadilan substantif. UUD 1945 Pasal 28D ayat 1 mengamanatkan "kepastian hukum yang adil," bukan sekadar kepastian hukum.

Untuk mengatasi masalah ini, maka penulis mengusulkan empat hal sebagai berikut:

Pertama, rekrutmen penegak hukum harus memiliki standar setara seperti di Jepang. Calon hakim, jaksa, dan pengacara menempuh pendidikan sama di Research Training Institute MA. Mereka juga harus lulus Bar Exam. Dan ada semacam Board of Committee yang menentukan seseorang tersebut lebih cocok jadi hakim, jaksa atau pengacara. Sistem mereka sangat terintegrasi dan selektif.

Kedua, peningkatan kesejahteraan hakim dan jaksa yang sering berpindah tugas, masih mengontrak, berpisah dengan keluarga, dan minim jaminan kesehatan. Tantangan lebih berat dihadapi pengacara yang tidak ditanggung negara meski berprofesi mulia (officium nobile).

Ketiga, kejadian penangkapan tersebut jangan sampai membuat kejaksaan menjadi arogan tetapi justru melakukan introspeksi juga. Tentu saja bukan hanya Kejaksaan tetapi juga hakim, kalangan advokat, kepolisian, penegak hukum serta siapa pun yang berada di pemerintahan. Dengan ini diharapkan terjadi revolusi mental dalam makna sesungguhnya.

Keempat, yang terpenting adalah integritas dan mentalitas. Tanpa ini, mafia peradilan tetap subur meski kesejahteraan dan fasilitas terpenuhi. Komitmen pada "kepastian hukum yang adil" harus menjadi tekad seluruh komponen bangsa dan pejabat di semua tingkatan.(*)

TM Luthfi Yazid, Ketua Umum Dewan Pergerakan Advoikat Republik Indonesia (DePA-RI), baru-baru ini mendapat courtesy visit dari Beijing Lawyers Association (BLA), pendiri/pengurus Japan Lawyers Association (JILA)  

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Widyo Suprayogi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X