KRjogja.com - Di awal pendiriannya, sebuah organisasi kerap lahir bukan dari kekuatan uang atau struktur, melainkan dari keyakinan. Para pendiri bekerja bukan semata untuk penghidupan, tetapi demi cita-cita. Ada semangat pengabdian, keberanian menghadapi ketidakpastian, dan kesediaan berkorban demi sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Saat itu, angin semangat bertiup kencang. Ia masuk ke ruang-ruang rapat yang kecil, menyusup dalam percakapan seru hingga larut malam, dan menyalakan berbagai keraguan sekaligus harapan. Orang bekerja tanpa harus disuruh. Visi mengalir begitu saja. Kesulitan menjadi perekat, setiap ada tantangan membuat persatuan bukan pemisah.
Namun angin itu, seperti segala hal hidup, tidak selalu menetap. Perlahan, ia mulai hilang ketika organisasi mulai sibuk membangun gedung, menata prosedur, memperindah laporan. Semuanya rapi, tapi kehilangan getaran. Jiwa yang dulu menyala, kini meredup di balik angka dan target.
Baca Juga: Mendiktisaintek Brian Luncurkan Gerakan Nasional Pencegahan Kekerasan di Kampus
Banyak organisasi berjalan seperti tubuh tanpa roh. Mekanisme tetap hidup. Proyek terus digulirkan. Tapi ada kehampaan yang sulit dijelaskan. Tidak ada gairah, tidak ada arah. Hanya rutinitas yang dipelihara. Orang-orang hadir, tapi tak betul-betul terlibat. Mereka patuh, tapi tak tergerak.
Gareth Morgan, dalam karya klasiknya Images of Organization (2006), menulis bahwa organisasi bukan hanya struktur formal, tetapi juga “entitas hidup yang memiliki kepribadian, nilai, dan semangat kolektif yang membentuk identitas dan arah.” Bila unsur hidup ini menghilang, organisasi tetap bisa berjalan—namun kehilangan maknanya.
Kondisi ini terlihat nyata di banyak tempat. Ada koperasi rakyat yang dulunya menjadi pusat solidaritas, kini terjebak konflik internal dan utang yang tak masuk akal. Ada organisasi keagamaan yang dulunya penuh semangat melayani, kini sibuk menjaga kuasa. Bahkan lembaga pendidikan pun kadang lebih khawatir tentang akreditasi dibanding pertumbuhan batin peserta didik.
Baca Juga: Berdayakan UMKM, Puspo Wardoyo Serahkan Bantuan CSR 100 Gerobak Kepada UMKM Centre Kota Solo
Ironisnya, justru ketika organisasi menjadi besar dan mapan, ia mulai mengganti kepercayaan dengan aturan, mengganti semangat dengan prosedur. Profesionalisme yang tumbuh, sering kali justru steril dari rasa. Yang tersisa adalah orang-orang yang sibuk bekerja, tapi tak tahu lagi untuk apa. Di sinilah krisis bermula: saat pekerjaan kehilangan makna, dan keberhasilan hanya diukur dari grafik.
Selain itu, tekanan persaingan dan kebutuhan akan efisiensi mendorong organisasi semakin mekanis. Banyak keputusan dibuat berdasarkan data dan angka semata tanpa menyentuh hati nurani kolektif. Akibatnya, komunikasi menjadi kaku, hubungan antar anggota dingin, dan inovasi meredup. Rasa memiliki yang dulu menguat, kini digantikan oleh budaya “kerja demi memenuhi aturan.”
Identitas organisasi, seperti dicatat Ravasi dan Schultz dalam Academy of Management Journal (2006), bisa perlahan membusuk jika nilai-nilai awal tidak ditransmisikan secara efektif antar generasi. Organisasi pun berjalan seperti kerangka yang dipaksa tetap tegak, padahal isi batinnya telah menguap.
Baca Juga: 5 Agustus Jadi Hari Terpendek 2025, Begini Penjelasannya
Apakah ini bisa dicegah? Bisa. Tapi tidak dengan pelatihan motivasi kilat atau jargon perubahan. Jiwa organisasi hanya bisa dijaga bila para pemimpinnya sadar bahwa yang mereka rawat bukan sekadar sistem, tapi ruh kolektif. Ini memerlukan keberanian untuk mendengar kembali suara awal pendirian—suara yang sering tertutup oleh keberhasilan administratif.