KRjogja.com - BEBERAPA waktu lalu, FYP media sosial penulis dipenuhi potongan video komika ternama Indonesia yaitu Raditya Dika, yang menyebut self-serving bias sebagai “penyakit” yang berbahaya di Indonesia. Dalam sebuah video podcast yang viral, ia menyindir kebiasaan orang-orang yang merasa benar sendiri “semua orang salah, kecuali gue”. Artinya, kalau sukses, itu karena dirinya; kalau gagal, pasti salah orang lain. Kedengarannya lucu, tapi sebenarnya ini adalah masalah serius, terutama dalam dunia kerja.
Dalam penelitian Shepperd et al. (2008) yang dipublikasikan pada jurnal Social and Personality Psychology Compass menjelaskan bahwa self-serving bias adalah kecenderungan psikologis seseorang untuk mengaitkan hasil yang positif dengan faktor internal, seperti kemampuan, usaha, atau karakter pribadi, dan mengaitkan hasil yang negatif dengan faktor eksternal, seperti keberuntungan, tindakan orang lain, atau situasi yang tidak menguntungkan. Bias ini mencerminkan upaya individu untuk mempertahankan atau meningkatkan harga diri dan citra diri, baik di hadapan diri sendiri maupun orang lain.
Baca Juga: Status BP Haji Bakal Jadi Kementerian
Dalam konteks manajemen sumber daya manusia, self-serving bias menjadi tantangan serius bagi organisasi, karena dapat mengganggu objektivitas dalam evaluasi kinerja, pengambilan keputusan, dan hubungan kerja. Bias ini sering muncul tanpa disadari, baik oleh karyawan maupun atasan. Ketika kegagalan terjadi, individu cenderung mencari kesalahan di luar dirinya, sementara saat berhasil, mereka mengklaimnya sebagai hasil kerja pribadi. Dengan demikian, self-serving bias dalam organisasi tidak bisa dianggap remeh.
Berikut adalah beberapa dampak self-serving bias yang sering muncul dalam organisasi. Pertama, bias dapat mendorong munculnya budaya saling menyalahkan, yang bisa merusak kepercayaan antar anggota tim. Kedua, bias dapat membuat keputusan yang diambil oleh atasan menjadi kurang tepat karena tidak mampu menilai situasi secara seimbang. Ketiga, bias ini menghambat pengembangan diri, karena individu yang merasa selalu benar cenderung menolak kritik dan enggan melakukan evaluasi. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa menurunkan produktivitas, menghambat inovasi, dan memicu konflik internal.
Pada konteks Indonesia, self-serving bias juga muncul dalam dunia kerja, meskipun kita dikenal dengan nilai-nilai kolektivisme dan semangat gotong royong. Dalam praktiknya, bias ini muncul, terutama dalam lingkungan kerja yang kompetitif atau birokratis. Kebiasaan mencari “kambing hitam” saat terjadi masalah, atau enggan mengakui kesalahan demi menjaga reputasi pribadi, merupakan contoh nyata dari bias ini. Dalam beberapa kasus, individu lebih sibuk menjaga citra daripada menyelesaikan akar persoalan. Hal ini diperparah oleh budaya hierarkis yang membuat bawahan enggan menyampaikan kritik atau masukan secara terbuka. Akibatnya, proses evaluasi dan perbaikan menjadi terhambat, dan organisasi kehilangan kesempatan untuk tumbuh melalui pembelajaran kolektif.
Baca Juga: Bank BPD DIY Gandeng SMKN 1 Saptosari Raih Kejar Award 2025
Lalu, bagaimana sebaiknya organisasi menyikapi fenomena ini? Pertama, pelatihan kesadaran diri (self-awareness) penting untuk membantu individu mengenali bias kognitif mereka sendiri. Kedua, organisasi perlu membangun sistem evaluasi berbasis data dan indikator kuantitatif, serta menerapkan 360-degree feedback agar penilaian kinerja lebih objektif. Ketiga, budaya umpan balik dua arah harus didorong, di mana atasan dan bawahan sama-sama terbuka terhadap kritik dan refleksi. Keempat, pemimpin harus menjadi teladan dalam mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan, sehingga menciptakan iklim kerja yang sehat dan produktif.
Di sisi lain, self-serving bias tidak selalu merugikan. Dalam kadar tertentu, bias ini dapat meningkatkan motivasi karena individu merasa lebih percaya diri terhadap kemampuannya. Tantangannya adalah bagaimana organisasi menjaga agar bias tersebut tidak berkembang menjadi sikap defensif yang menolak kritik. Di sinilah peran kepemimpinan transformatif menjadi penting, pemimpin yang mampu menginspirasi, memberikan teladan kerendahan hati, sekaligus menciptakan ruang aman bagi karyawan untuk mengevaluasi diri.
Baca Juga: Lapar Mata atau Potensial? Arsenal Bungkus Satu Pemain Muda dari Irlandia
Dengan demikian, diskusi Raditya Dika tentang bias ini sesungguhnya membuka ruang refleksi yang lebih luas, bahwa dunia kerja bukan hanya soal kompetensi teknis, tetapi juga soal mengelola bias dan kelemahan manusiawi. Penting bagi organisasi, memahami self-serving bias berarti memahami salah satu aspek psikologis paling fundamental dalam perilaku kerja. Keberhasilan organisasi tidak lagi hanya ditentukan oleh strategi bisnis, tetapi juga oleh sejauh mana individu mampu membangun budaya kerja yang sehat, adil, dan mendorong pertumbuhan bersama. (Agatha Mayasari, SE., M.Sc., Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta)