Aksi Massa Antara Kontrol Sosial dan Anarkisme dalam Perspektif Madilog

Photo Author
- Selasa, 2 September 2025 | 09:30 WIB
Puji Qomariyah, M.Si.
Puji Qomariyah, M.Si.

KRjogja.com - INDONESIA kembali bergejolak. Dalam beberapa hari terakhir, gelombang demonstrasi besar-besaran menyapu berbagai kota di Indonesia, dari Jakarta hingga Bandung, dari Makassar hingga Medan dan Yogyakarta. Aksi yang awalnya dipicu oleh kenaikan tunjangan anggota DPR yang mencapai Rp100 juta per bulan ini berubah menjadi kerusuhan yang diwarnai pembakaran fasilitas umum, gedung pemerintahan, dan bentrokan dengan aparat.

Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan (20), seorang pengemudi ojek online yang terlindas kendaraan taktis polisi di Pejompongan, menjadi pemicu eskalasi yang mengubah unjuk rasa damai menjadi amuk massa yang sulit dikendalikan. Peristiwa ini bukanlah ledakan spontan tanpa sebab, melainkan akumulasi gunung es kekecewaan yang akhirnya menemukan pemicunya.

Dalam perspektif sosiologi secara tegas bisa dibedakan dalam dua hal yakni demonstrasi sebagai mekanisme kontrol sosial yang sah, serta kerusuhan sebagai tindakan anarki yang menyeleweng dari tujuan mulia tersebut. Demo adalah jantung dari kontrol sosial non-parlementer. Demo adalah cara warga negara yang tidak memiliki akses ke kekuasaan untuk menyampaikan aspirasi, kritik, dan tuntutannya secara langsung. Dalam kerangka Madilog (materialisme, dialektika, logika) Tan Malaka, aksi massa yang terorganisir adalah sebuah logika politik yang rasional. Ia adalah respons dialektis (pertentangan) terhadap kebijakan elite yang dianggap tidak adil (materialisme).

Fungsi demonstrasi sebagai kontrol sosial adalah mengingatkan penguasa bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, memaksa dialog membuka ruang diskusi yang tertutup di gedung-gedung parlemen, mempengaruhi opini publik menyadarkan masyarakat luas tentang kebijakan yang bermasalah, serta sebagai katarsis sosial, yaitu menjadi saluran yang sehat untuk menyalurkan kekecewaan dan kemarahan kolektif. Dalam konteks ini, demo yang damai dan tertib bukanlah kejahatan massa, melainkan kewajiban sipil atau civic duty bagi mereka yang peduli dengan nasib bangsanya. Ia adalah pilar demokrasi yang menjaga agar negara tidak jatuh ke dalam otoritarianisme. Demo adalah suara. Kerusuhan adalah kebisingan. Sejarah hanya akan mengingat yang pertama jika dilakukan dengan bermartabat.

Kesenjangan Ekonomi sebagai Bahan Bakar Perlawanan

Data menunjukkan anggota DPR menerima tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan di tengah masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Harga beras premium telah mencapai Rp16.088/kg secara nasional, sementara angka PHK pada semester I tahun 2025 melonjak 32,19% dibanding periode sama tahun sebelumnya.

Tan Malaka dalam Aksi Massa (1926) menegaskan bahwa perlawanan rakyat tidak pernah lahir dari vacuum, tetapi merupakan respons terhadap penindasan ekonomi yang sistematis. Masyarakat Indonesia telah lama menjadi korban struktur ekonomi yang timpang dan hanya melalui aksi massa lah perubahan dapat dicapai. Demonstrasi berujung kerusuhan ini adalah akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dan DPR yang tak berpihak. Pernyataan pejabat yang dianggap blunder, seperti menyebut demonstran tolol, atau kebiasaan berjoged di tengah kesulitan rakyat, semakin memperdalam jurang alienasi antara penguasa dan yang dikuasai.

Survei Indikator Politik Indonesia (Januari 2025) menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap DPR hanya 69%, menempati peringkat ke-10 dari 11 lembaga. Rendahnya kepercayaan ini diperparah oleh kinerja legislatif yang dinilai tidak memuaskan, seperti pembahasan RUU yang minim partisipasi publik dan tertutup. Dalam perspektif Tan Malaka, ketika lembaga perwakilan dianggap gagal menjalankan mandatnya, maka protes menjadi konsekuensi yang niscaya. Demo adalah upaya untuk mereklamasi kedaulatan yang dianggap dicuri.

Pada titik krusial ini, Tan Malaka membedakan antara massa yang sadar dan terorganisir dengan mob atau gerombolan yang tak bertujuan. Aksi massa yang baik memerlukan organisasi, disiplin, dan tujuan politik yang jelas. Kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan terutama terhadap rumah warga atau fasilitas publik adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat aksi massa itu sendiri.

Tindakan anarki tersebut seringkali dilakukan oleh provokator, pihak yang sengaja menyusup untuk mendiskreditkan aksi, unsur kriminal, yang memanfaatkan situasi chaos untuk kepentingan pribadi dan massa yang emosinya telah tereksploitasi hingga ke titik kehilangan kesadaran politiknya.

Membakar bus atau menjarah toko bukanlah serangan terhadap simbol kekuasaan, melainkan serangan terhadap milik rakyat sendiri. Tindakan ini justru mengalihkan narasi dari tuntutan substantif tentang keadilan menjadi berita tentang kekacauan, sehingga melegitimasi tindakan represif aparat dan meminggirkan pesan moral dari demonstran yang damai.

Secara sosiologis-politik dalam pandangan Tan Malaka, negara harus merupakan republik demokratis sejati dimana kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Ketika lembaga perwakilan dianggap gagal menjalankan mandat ini, maka protes dan perlawanan menjadi konsekuensi yang niscaya. Madilog melihat peristiwa secara materialis, melacak akar ekonomi dari kemarahan massa. Secara dialektik, memahami pertentangan kelas antara elite politik dengan rakyat. Dan secara logika, menemukan pola rasional di rebalik tindakan yang irasional.

Dalam perspektif sosiologi Tan Malaka, aksi massa adalah bagian dari dialektika sejarah menuju masyarakat yang lebih adil. Namun, untuk sampai pada fase tersebut, gerakan harus tetap memegang etika perjuangan. Revolusi nasional diperlukan untuk membentuk sistem kehidupan yang bebas dari penindasan dan mendukung keadilan. Namun, revolusi ini harus terorganisir dan memiliki tujuan jelas, bukan sekadar amuk massa tanpa arah.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X