Kesadaran Kosmopolitan
Untuk mengatasi problem pemahaman keagamaan yang sempit tersebut, dibutuhkan kerangka berpikir yang kosmopolit dalam memahami rancang bangun pengetahuan keagamaan. Dalam kaitan ini, meminjam karakteristik kosmopolitanisme yang diuraikan Khairudin Aljuneid dalam buku ëMuslim Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam in Comparative PerspectiveÃ, setidaknya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam memahami pengetahuan keagamaan.
Pertama, opennes. Generasi digital, harus memiliki pandangan terbuka terhadap berbagai pemikiran keagamaan. Setiap ajaran yang dihadirkan oleh seseorang bisa jadi bersumber dari rujukan bacaan yang berbeda dengan orang lain. Kedua, hospitality, generasi digital harus memiliki sikap keramah-tamahan kepada orang lain. Berbagai informasi yang akan disampaikan tidak mengandung unsur hoax atau kebencian yang bisa mengaduk emosi publik. Sebab, point penting dari kehadiran teknologi adalah bagaimana memanusiakan orang lain dengan humanis dan kesantunan. Ketiga, inclusiveness. Generasi digital harus bersifat inklusif dan mau menerima segala macam perbedaan pandangan pihak lain.
Ketika memahami ajaran agama, sangat penting memperhatikan adanya keragaman yang melingkupi kehidupan manusia, agar tak terjebak dengan penilaian negatif terhadap pihak lain.
Ketiga aspek ini menjadi modal sosial bagi generasi digital untuk mengekspresikan jati dirinya sebagai generasi perubahan. Tak sekadar menonjolkan kemampuan adabtabilitas terhadap teknologi internet, namun harus bersikap kosmopolit dalam keberagamannya.
(Fathorrahman Ghufron. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 25 Februari 2017)