opini

Program 3 Juta Rumah dan Mimpi Indah Masyarakat Punya Hunian Layak

Kamis, 6 Februari 2025 | 10:07 WIB
ilustrasi perumahan murah (istimewa)

Program 3 Juta Rumah dan Mimpi Indah Masyarakat Punya Hunian Layak

Oleh : Tomi Sujatmiko

RUMAH menjadi kebutuhan dasar manusia di dunia. Rumah menjadi tempat berkumpul hingga saling berinteraksi manusia dengan sesamanya. Bahkan, tempat berbagi kebahagiaan bersama keluarganya. Rumah juga menjadi lokasi terbaik seseorang merajut mimpi indah selama hidupnya. Ironinya, masih ada masyarakat yang belum memiliki rumah layak sebagai tempat tinggal.

Memasuki usia kemerdekaan RI ke 79 tahun penyediaan rumah bagi rakyat masih menjadi tantangan besar. Tercermin masih adanya backlog (kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan) sebanyak 12,7 juta rumah. Padahal saat pembukaan Kongres Perumahan Sehat di Bandung 25-30 Agustus 1950, Wakil Presiden RI Bung Hatta mencita-citakan dalam 50 tahun bangsa Indonesia sudah merdeka dari pemenuhan kebutuhan atas perumahan. Faktanya sampai kini angka backlog perumahan masih sangat tinggi, mendekati 13 juta rumah. Kebijakan perumahan rakyat telah dirintis sejak masa Presiden Soekarno dimana stelah kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945 fungsi perumahan diserahkan Departemen Pekerjaan Umum yang baru didirikan dengan tanggung jawab mengawasi pembangunan serta pemeliharaan gedung-gedung.

Akibat situasi politik yang tidak stabil membuat dampak pembangunan perumahan belum benar-benar terasa oleh masyarakat. Kemudian, pemerintah mulai memberlakukan Stadsvorming Ordonantie (SVO), atau Undang-Undang Pembentukan Kota pada tahun 1950. Lalu, pemerintah menerbitkan Ketetapan MPR No. II/Tahun 1960 guna memecahkan masalah pengadaan perumahan dengan beberapa ketentuan pokok mulai dari mengusahakan pembangunan rumah sehat yang terjangkau, kemudahan pembangunan perumahan hingga pemberian fasilitas pemerintah.

Ketetapan tersebut tidak berjalan dengan baik, akhirnya diterbitkan Undang-Undang Pokok Perumahan No. 1 Tahun 1964. Terdapat empat hal yang sangat mendasar yang memberikan arahan pengadaan perumahan di Indonesia. Hal itu meliputi kewajiban masyarakat untuk ikut serta dalam pengadaan perumahan. Kemudian, Pemerintah akan bertindak sebagai penyedia perumahan dan pemberi bantuan dan dorongan. Pada tahun 1966 di era Presiden Kedua Soeharto, Kampung Improvement Program (KIP) Jakarta dinamai Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT) dimulai dan menjadi proyek skala nasional pada tahun berikutnya.

Selanjutnya, fungsi dan tanggungjawab dalam hal urusan perumahan rakyat dikembalikan ke Kementerian PU lewat Penerbitan Keputusan Presiden No. 18 tahun Tahun 1969 memperkuat wewenang Menteri PUTL (Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik) dalam hal urusan perumahan rakyat. Pada tahun 1974, pemerintah membentuk Badan Kebijakan Perumahan Nasional (BKPN) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 35 tahun Tahun 1974. Kemudian, didirikan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) melalui Peraturan Pemerintah No. 29 tahun Tahun 1974. Perumnas berperan sebagai National Urban Development Corporation dengan tugas utama sebagai penyedia rumah murah dan bank tanah. Selain itu, Bank Tabungan Negara (BTN) juga didirikan sebagai satu-satunya lembaga perbankan perumahan yang memberikan pembiayaan rumah aksesibel bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui skema KPR.

Memasuki awal Reformasi beberapa presiden mencanangkan program perumahan rakyat. Langkah ini mulai masif adalah ketika era Susilo Bambang Yudhoyono. Dari berbagai pemberitaan tertulis, presiden keenam tersebut mencanangkan program 1.000 Tower pada 2007. Targetnya membangun 600 ribu rumah susun dalam lima tahun di kota yang padat penduduk dengan Alokasi dana Rp 50 triliun. Proyek ini dikerjakan oleh para pengembang yang tergabung dalam Real Estat Indonesia (REI) dimana REI memberi komitmen pendanaan 30% dan sisanya berasal dari perbankan. Pada 2011 masalah muncul akibat ribuan unit rusun yang dibangun banyak yang kosong dan hancur. Beberapa bahkan tidak berlanjut pembangunannya sehigga program 1.000 Tower pun mati suri hingga kini.

Di era Jokowi muncul Program Sejuta Rumah (PSR) pada 2015. Sampai dengan pertengahan tahun lalu realisasinya telah mencapai 8,47 juta unit. Untuk pembiayaan, Jokowi meluncurkan Undang-Undang Tapera pada 2016. Sesuai aturan itu, semua pekerja yang berusia minimal 20 tahun dengan penghasilan sesuai upah minimum regional wajib menjadi peserta Tapera. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024, para pekerja wajib membayar iuran 3% dari upahnya. Program pembiayaan ini ditujukan untuk menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Program 3 Juta Rumah

Di era pemerintahan Prabowo Subianto melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya dengan menambah jumlah target rumah bagi masyarakat menjadi tiga juta unit. Melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (KKP), kementerian ini berfungsi sebagai operator, regulator dan fasilitator dalam rangka penyediaan rumah rakyat. Berdasarkan rencana, program Tiga Juta Rumah terdiri dari pembangunan dua juta unit rumah di pedesaan dan satu juta unit apartemen di kota-kota besar. Pemerintahan Prabowo memprioritaskan pembangunan rumh di pedesaan karena proyek perumahan akan menggerakkan perekonomian di desa dan menyerap tenaga kerja lokal. Rumah yang dibangun dalam program ini rumah sederhana sehat (RSR), rumah susun, dan rumah swadaya.

Ki ka : Direktur Utama Nixon LP Napitupulu, Meneg BUMN Erick Thohir dan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (istimewa)

Ada beberapa tujuan utama dari program ini. Pertama, meningkatkan akses masyarakat terhadap perumahan, Kedua mengurangi backlog (keterlambatan) perumahan di Indonesia. Ketiga meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Salah satu dimensi kualitas hidup yang sangat penting adalah tempat tinggal. Rumah yang layak dan sehat merupakan syarat dasar mendukung aktivitas sehari-hari termasuk menjaga kesehatan dan menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi anak-anak. Tujuan keempat mendorong pembangunan ekonomi lokal. Proyek pembangunan rumah memberikan dampak langsung terhadap perekonomian lokal. Aktivitas konstruksi menciptakan lapangan kerja, baik bagi pekerja konstruksi maupun sektor terkait, seperti manufaktur bahan bangunan dan sektor jasa lainnya.

Selain itu, pembangunan infrastruktur perumahan juga berpotensi meningkatkan akses terhadap pasar, pendidikan, dan layanan kesehatan. Adapun keempat, mendukung keseimbangan sosial dan ekonomi. Pembangunan perumahan yang terencana dengan baik juga mendukung integrasi sosial, mengurangi ketimpangan, dan memperbaiki akses terhadap fasilitas dasar, seperti air bersih, listrik, dan sanitasi.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB