KRjogja.com - LAPORAN Bank Indonesia (BI) tentang uang yang diedarkan (UYD) menyisakan sedikit pertanyaan. Pertumbuhan UYD per Maret 2025 mencapai 8,63%. Angka tersebut tercatat sedikit lebih tinggi dari periode Ramadan dan Lebaran pada tahun lalu yang menembus 8,44% secara tahunan.
Padahal selama Ramadan dan Lebaran 2025 perekonomian nasional masih dihadapkan pada isu pelemahan daya beli. Kemerosotan daya beli tercermin tidak hanya dari jumlah pemudik, tetapi juga dari nilai perputaran uang yang lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
Polemik data pertumbuhan UYD tidak berhenti sampai di situ. Tensi perdebatan kian tinggi tatkala dikonfrontasikan dengan pergerakan inflasi. Besaran pertumbuhan UYD terpantau jauh lebih tinggi dari inflasi yang ‘hanya’ mencapai 1,03% secara tahunan atau 1,65% secara bulanan.
Sampai di sini, data pertumbuhan UYD dan inflasi seakan ‘berbicara’ sendiri-sendiri tanpa ‘dialog’ dalam satu jalinan cerita utuh yang terbingkai dengan isu daya beli. Tumbuhnya UYD diklaim menjadi indikasi awal kenaikan daya beli masyarakat sejatinya tidak terlalu keliru.
Sudah menjadi siklus, konsumsi rumah tangga cenderung meningkat di hari raya keagamaan. Kenaikan konsumsi yang ditopang oleh penyaluran Tunjangan Hari Raya (THR) mampu mendongkrak transaksi. Namun, klaim di atas gugur jika ditarik ke dalam rentang waktu lebih panjang.
Kenaikan konsumsi rumah tangga toh hanya musiman dan kembali ke pola sebelumnya. Artinya, rumah tangga ‘memaksakan diri’ berkonsumsi lebih relatif terhadap daya beli riil yang dimiliki. Pertumbuhan uang sempit (uang kartal dan giro) yang melambat seolah menjadi bukti yang valid.
Lagi pula, UYD adalah data agregat yang tidak menunjukkan secara spesifik keberadaan uang tersebut. Data UYD tipikal ‘gelondongan’ yang mencakup semua kelompok tanpa memilah detail subyeknya.
Baca Juga: Ketahanan Pangan Keluarga, Warga Diminta Manfaatkan Pekarangan Untuk Perikanan dan Hortikultura
Sementara, penurunan daya beli terjadi pada masyarakat kelas bawah dan menengah.
Data UYD dan inflasi yang tidak berkorelasi kuat dengan daya beli membawa implikasi yang tidak ringan pada kebijakan turunannya. Inflasi menentukan suku bunga. Suku bunga akan naik jika inflasi permanen naik. Dalam kasus inflasi ‘bias’ ke bawah, kebijakan suku bunga BI bisa keliru arah.
Inflasi juga bertautan dengan upah minimum provinsi (UMP). Kenaikan UMP yang mengacu pada angka inflasi yang terlalu rendah bisa menenggelamkan daya beli buruh. Rendahnya kenaikan UMP di tengah inflasi yang sebenarnya sudah naik akan memperlambat proses pemulihan ekonomi.
Pada gilirannya, UYD terkait dengan pengukuran efektivitas kebijakan. Penambahan likuiditas lewat pelonggaran kebijakan makroprudensial BI bisa divonis tidak berdampak pada permintaan agregat lantaran likuiditas masih tertahan di sistem perbankan, alih-alih terserap ke sektor riil
Dengan konfigurasi problematika di atas, pemangku kepentingan perlu menyadari karakteristik yang termaktub dalam data UYD. Hal ini krusial untuk meminimisasi risiko yang timbul dari penafsiran yang keliru.
Baca Juga: Laporan Sekolah Muncul, Pemda DIY Isyaratkan Evaluasi MBG
Tidak representatifnya data dapat terjadi karena faktor yang mengelilinginya. Perubahan ekosistem menghasilkan data yang tidak ‘lazim’, kendati menggunakan metodologi yang sama. Dengan begitu, data ekonomi pada masa Puasa dan Lebaran 2025 pun juga terkesan ‘luar biasa’.
Berbekal dari kemakfuman di atas. data ekonomi makro pada masa Puasa dan Lebaran 2025 perlu diberi ‘perlakuan’ khusus. Penyesuaian bisa ditempuh dengan memanfaatkan data mikro sebagai pembandingnya, alih-alih menggunakan data makro yang ‘bias’ tadi sebagaimana adanya.
Jika data di level mikro tidak tersedia, komparasi perlu dilakukan dengan data kualitatif. Sehingga kebijakan yang diramu efektif sesuai kondisi daya beli konkret di lapangan. Sebagai kilas balik, data bisa jadi tidak representatif, tetapi kebijakan tidak boleh bias. Bukan begitu? (Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI - the Socio-Economic & Educational Business Institute - Jakarta, Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara PP-ISEI)