Yogyakarta, Inklusif 'Totum Pro Parte'

Photo Author
- Minggu, 16 Juli 2017 | 07:47 WIB

BANGSA yang beradab tidak akan menanggalkan akar kebudayaannya. Ia harus mengintegrasikan kebudayaan sebagai alat kemanusiaan, bukan semata soal identitas. 

 

Penting memang untuk merawat identitas melalui kebijakan kebudayaan agar dinamika kehidupan manusia di dalamnya tidak kosong dan berdiri tanpa alas kaki. Kebijakan kebudayaan sebuah bangsa pun seharusnya masih berdasar pada relasi sejarah yang telah dibangun, sehingga segalanya akan dilakukan dengan senang hati tanpa menodai akal budi. 

 

Yogyakarta menjadi salah satu unsur bangsa yang sarat dengan ragam budaya. Ia bisa diartikan sebagai wilayah, batas wilayah, atau bagian dari kebudayaan. Ia memiliki akar-akar kebudayaan yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Namun bukan berarti Yogyakarta berdiri eksklusif dan mengeksklusi budaya lain yang masuk. 

Sebagai kota pelajar yang dibanjiri oleh pendatang dari beragam daerah, wajar jika kota ini kemudian menjadi tampak plural. Pun semoga tidak terjadi ketakutan-ketakutan yang berlebihan terhadap hal asing, baru, atau dianggap “liyan” di kota ini. 

 

Atas keberterimaan Yogyakarta terhadap keragaman, sekitar tahun 2002-2003, kota ini mendapat julukan The City of Tolerance. Julukan ini diberikan sebagai representasi kota yang plural dan memiliki keberpihakan terhadap keragaman. Penulis memaknai tolerance sebagai salah satu bentuk politik identitas. 

 

Di satu sisi, ia dapat dimaknai sebagai bentuk keberterimaan atas keragaman. Pun di sisi lain, ia juga memberi ruang kepada individu atau kelompok yang tidak disukai, bukan sebuah penerimaan melainkan sebatas pemakluman. Artinya, ada yang belum tuntas di balik upaya Yogyakarta dalam menumbuhkembangkan sikap inklusif. 

 

Yogyakarta, Inklusi Totum Pro Parte

 

Keragaman di Yogyakarta sangat majemuk. Basis permasalahan yang dilibatkan pun saling terkait, bahkan berlapis. Satu masalah tidak berdiri sendiri, sehingga penyelesaian yang dilakukan seharusnya tidak mengeksklusi segmen lain. Gender, seksualitas, agama, pendidikan, dan difabilitas adalah segmen makro yang membutuhkan kerja kolaboratif berbagai pihak. 

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: agung

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X