Merefleksikan AI dan Pendidikan Tinggi

Photo Author
- Senin, 5 Mei 2025 | 08:50 WIB
Drs. Johanes Eka Priyatma, M.Sc.,Ph.D.
Drs. Johanes Eka Priyatma, M.Sc.,Ph.D.

KRjogja.com - SEJAK kemunculan ChatGPT dan teknologi kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI) lainnya, suasana di lingkungan perguruan tinggi global berubah drastis. Alih-alih disambut dengan rasa ingin tahu dan semangat inovasi, AI justru memicu kecemasan besar di kalangan dosen dan institusi. Banyak universitas kini sibuk memburu mahasiswa yang “diduga” menggunakan AI dalam tugasnya. Di tengah hiruk-pikuk pengawasan digital ini, sebaiknya kita sejenak merenung dan bertanya : Apakah AI memang menjadi ancaman pendidikan tinggi ? Renungan akan hal ini dapat menjadi salah satu cara kita merayakan Hari Pendidikan Nasional tahun ini.

Tulisan Neil Kramm dan Sioux McKenna yang terbit di jurnal Teaching in Higher Education mengajak kita untuk merenung lebih dalam tentang kehadiran AI di dunia pendidikan. Mereka mengkritisi pendekatan “awasi-tangkap-hukum’ yang kini menjadi sikap umum institusi pendidikan tinggi terhadap kehadiran AI. Bagi Kramm dan McKenna (2023), pendekatan ini bukan saja tidak tepat serta membuang waktu dan energi, tetapi malah mengkhianati esensi dan orientasi pendidikan tinggi yang sesungguhnya. Menganggap AI sebagai ancaman eksistensial pendidikan tinggi menunjukkan betapa sempitnya pemahaman kita tentang pendidikan tinggi karena memahaminya hanya dari sudut pandang ekonomi dan sertifikasi.

Baca Juga: Muncul Lagi Dugaan Mafia Tanah, Korbannya Warga Tamantirto

Sebagian besar dari kita memahami bahwa pendidikan tinggi semata sarana atau kendaraan untuk merebut kesempatan kerja yang memang sangat terbatas. Mahasiswa datang, mengerjakan tugas, ikut ujian, lalu pulang membawa ijazah demi memenangkan persaingan berebut kesempatan kerja. Selesai. Akan tetapi, bila pendidikan kita pahami secara sempit hanya sebagai "mesin pencetak ijasah", maka nilai-nilai keutamaan seperti pertumbuhan pribadi, kesadaran kritis, dan kontribusi pada kebaikan publik akan perlahan menghilang dari ruang kelas dan kurikulum. Hal inilah yang justru dominan kita rasakan selama ini. Maraknya korupsi dan tindak politik yang melanggar etika publik merupakan salah satu buah dari orientasi pendidikan tinggi yang bersifat instrumentalist ini.

Memang tidak dapat kita mungkiri, di tengah jurang ketimpangan sosial yang menganga, mahasiswa menggantungkan harapan besar pada selembar ijazah. Tetapi jika perguruan tinggi hanya berfokus pada pengukuran hasil evaluasi demi kualitas ijazah yang diberikan maka sistem pendidikan akan tunduk pada logika industri: nilai menjadi produk, mahasiswa jadi konsumen, dan AI—tentu saja—jadi ancaman.

Tidak mengherankan bila akhirnya ChatGPT dan produk AI sejenis lain disambut dengan kepanikan. Dosen berlomba-lomba mencari tahu: "Apakah tugas ini ditulis manusia atau mesin?" Lalu muncullah berbagai software deteksi AI, yang ironisnya, justru kerap salah sasaran. Mahasiswa akan semakin cerdik menemukan cara untuk membuat karyanya terbebas dari deteksi dan tuduhan buatan AI.

Baca Juga: Satpol PP Bantul Ikut Bertanggungjawab Terhadap Keselamatan Wisatawan di Pantai Selatan

Cara pandang dan pendekatan yang kita gunakan ini seperti mengulang kesalahan lama. Dari dulu hingga kini, kita secara intensif memakai software deteksi plagiarisme. Logika dan pendekatan ini kita terapkan dalam memahami kehadiran AI di pendidikan tinggi. Namun, apakah praktik itu mengurangi kecurangan? Tidak. Justru memperparah ketegangan dan menciptakan suasana belajar yang penuh kecurigaan. Kita sibuk menegakkan integritas akademik lewat pengawasan, tapi melupakan pendidikan sebagai ruang dialog dan kepercayaan.

AI tak selalu harus dilihat sebagai musuh. Dalam konteks pendidikan, AI justru bisa menjadi alat bantu yang luar biasa jika digunakan dengan bijak. Bayangkan mahasiswa yang menggunakan AI untuk menguji pemahamannya, mengembangkan argumen, atau mengeksplorasi sudut pandang baru. Di sinilah AI bisa berperan memperkuat relasi reflektif antara mahasiswa dan pengetahuan.

Untuk sampai ke titik itu, kita perlu mendesain ulang cara kita mengajar dan menilai. Jika tugas bisa diselesaikan sempurna oleh AI dalam waktu singkat, maka mungkin masalahnya ada pada desain tugas, bukan pada teknologinya. Saatnya kita bertanya: apakah tugas ini benar-benar mendorong pemahaman mendalam? Jika tidak, maka sudah waktunya untuk ditinggalkan.

Baca Juga: Pensiunan PNS Terima Gaji ke-13 di 2025

Penulis meyakini bahwa pendidikan tinggi seharusnya membentuk mahasiswa dalam memahami tentang dunia, tentang dirinya sendiri, dan tentang posisinya di tengah masyarakat. Seorang mahasiswa kimia, misalnya, tidak sekadar menghafal tabel periodik, tapi memahami dunia dalam dimensi molekular. Seorang calon sosiolog tidak hanya membaca teori, tapi merenung tentang ketidakadilan sosial yang mungkin ia sendiri nikmati.

Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses transformasi. Proses ini hanya mungkin terjadi jika kita membangun kepercayaan, ruang refleksi, dan interaksi bermakna. AI bukan hambatan dalam proses ini, kecuali jika kita sendiri yang menjadikannya demikian. Kita bisa terus mengikuti jalur lama, yakni menginvestasikan dana dan energi untuk mendeteksi, mengawasi, dan menghukum. Atau, kita bisa memilih jalan yang lebih manusiawi dan bermakna, membangun relasi yang transformatif antara mahasiswa dan pengetahuan.

Penulis yakin ada banyak dosen yang mengajar secara inspiratif. Mereka tidak memulai kelas dengan “jangan menyontek,” melainkan dengan “mengapa ini penting dipelajari.” Mereka mendorong mahasiswa berpikir, meragukan, bertanya, dan menemukan keajaiban dalam belajar. Bagi dosen ini, AI justru bisa menjadi pemantik perubahan. Maka pertanyaannya bukan lagi “Bagaimana kita menangkap pengguna AI?” tetapi “Bagaimana kita membimbing generasi baru agar bijak menggunakannya?” (Johanes Eka Priyatma, Dosen pada Jurusan Teknik Informatika Sanata Dharma, Yogyakarta)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X