KRjogja.com - HANTU yang paling ditakuti dalam sebuah perekonomian adalah masalah peningkatan pengangguran. Penanganan yang terstruktur tentu sangat dibutuhkan, lantaran peningkatan penggangguran yang berkelanjutan akan berdampak pada tumpulnya keahlian, terakumulasinya frustasi kolektif, lonjakan kemiskinan, dan problem sosial yang lebih besar. Karenanya, langkah menangani pengangguran harus diletakkan pada konteks pengelolaan kebijakan ekonomi makro jangka menengah-panjang.
Soal peningkatan pengangguran, di jagad media terjadi diskursus perbedaan besarnya angka pengangguran dan kemiskinan. Versi BPS ada 7,28 juta atau sekitar 4.8%. Ada juga yang bilang 5% menurut IMF, bahkan ranking 1 di ASEAN. Masih kurang dramatis, dalam Laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, World Bank mengungkapkan sebanyak 60,3% penduduk Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan!
Baca Juga: BMKG Prediksi Kemarau Basah Hingga Oktober 2025, Warga Diimbau Waspada Banjir dan Longsor
Berbagai argumentasi disampaikan Pemerintah, mulai dari jumlah angka pengangguran, perbedaan metode penghitungan, hingga munculnya iklan-iklan job opening. Unggahan job opening ini tentu masih jauh dari kapasitas daya serap ledakan jumlah pengangguran. Alih-alih ditunggu langkah nyata mengurangi pengangguran, pemangku kepentingan sibuk berargumen tentang perbedaan metode perhitungan, bahkan “menentramkan” dengan membandingkan angka pengangguran dan kemiskinan di negara lain yang lebih buruk.
Dengan perekonomian yang makin terbuka, Indonesia sebagai negara besar tentu dalam sorotan investor asing dan domestik. Pemerintah baru, membangun negeri dengan cita dan angan baru pasti sangat dinanti langkah kebijakan kongkritnya. Membiarkan atau ber-argue fakta pemburukan sebuah indikator ekonomi jelas bukan kepatutan. Setelan cuek (Stecu), kurang pekanya pemangku kepentingan terhadap memburuknya angka pengangguran harus berakhir. Kebijakan yang terstruktur perlu segera bergulir. Negara harus hadir.
Baca Juga: Payah! 571 Ribu Penerima Bansos Terciduk Main Judi Online
Himbauan Menaker agar mencari pekerjaan di luar negeri dengan alasan ada fenomena aging population menjadi penanda langkanya kebijakan mengurangi pengangguran secara terstruktur itu. Adakah terpikir bahwa para penganggur di dalam negeri itu meet requirement dengan job opening di luar negeri? Di negara mana saja yang terbuka kesempatan kerja? Mampukah kita bersaing dengan angkatan kerja di luar negeri? Berapa besar dampaknya jika terjadi exodus angkatan kerja ke luar negeri terhadap angka pengangguran? Di luar negeri level service agreement tentu lebih tinggi dan persyaratan teknisnya juga pasti lebih ketat. Statement tanpa didukung data yang detil pada akhirnya menyesatkan dan membuat frustrasi penganggur.
Stecu terhadap penyediaan lapangan kerja, dengan hanya mengandalkan langkah ad hoc jelas kurang efektif. Pernah terpikir, jangan-jangan di jaman AI ini semua sudah kehilangan nalar dan akal budi. Sedikit-sedikit buka chat GPT, tanya deep seek, masuk chat bot dan sejenisnya, main block copy, tinggal plag and play. Padahal sebuah policy harusnya melalui research based, survei kebutuhan, data analytics, studi-studi yang akurat dan cocok dengan karakter perekonomian Indonesia, tidak asal adopsi bentuk-bentuk instant dari aplikasi AI.
Baca Juga: Yogyakarta Tertinggi Nasional! Usia Harapan Hidup Warganya Tembus 77 Tahun
Ada sebuah theory of denial economy, dimana pemangku kepentingan abai terhadap memburuknya sebuah indikator ekonomi. Mereka tidak merasakan denyut permasalahan yang terjadi, cuek dan tanpa solusi. Mereka mungkin menganggap mekanisme keseimbangan atau adjustment akan mencari jalannya sendiri. Stecu terhadap pemburukan indikator ekonomi ini, apalagi soal pengangguran dan ketersediaan lapangan kerja, berpotensi dapat memantik persoalan sosial yang lebih besar.
Langkah mengatasi pengangguran memang tidak semudah membalikkan tangan. Di sisi penawaran, kualitas SDM dan kompetensi pencari kerja tetap harus menjadi fokus, apalagi di jaman digital seperti sekarang ini. Penajaman kurikulum pendidikan vokasi, kesiapan lulusan akademi dan universitas harus selaras dengan kebutuhan penyedia kerja. Lamanya menganggur juga perlu diisi dengan peningkatan ketrampilan melalui Balai Latihan Kerja, pengadaan kursus, sertifikasi, penataan kurikulum magang, atau membuat satelit-satelit penyedia tenaga kerja siap pakai.
Baca Juga: LPS Terus Perkuat Sistem Teknologi dan Informasi Guna Ketenangan dan Kenyamanan Nasabah
Dari sisi permintaan, ketersediaan lapangan kerja akan sangat tergantung pada kemampuan perusahaan melakukan ekspansi usaha. Dalam hubungan ini, BUMN bisa menjadi motor penggerak ekosistem pengembangan usaha dari hulu ke hilir yang padat karya. Tentu ini sangat tergantung pada iklim investasi, stabilitas makroekonomi, dan policy intention dari Pemerintah dalam menjalankan program investasi di sektor-sektor produktif. Pengembangan UMKM dan bisnis model yang mendukung industri hulu-hilir tetap harus link-and match dengan kompetensi pelaku UMKM. Peran komunitas sosial juga perlu diarahkan pada kegiatan produktif yang mampu melibatkan seluruh elemen di sektor informal.
Pemangku kepentingan tidak boleh stecu terhadap problem ekonomi. Mereka harus melahirkan kebijakan end-to-end yang penuh produktivitas dan unggul. Langkah interim tentu dibutuhkan. Kebijakan mengatasi pengangguran dan memperbanyak lapangan kerja dalam jangka menengah-panjang juga harus dihadirkan, sebagaimana yang pernah dijanjikan pada masa kampanye. Kalau tetap stecu dan hanya mengandalkan langkah ad hoc, maka ketidakpastian dan dampak sosial yang lebih buruk akan selalu menghampiri hidup kita.(Budi Hanoto SE MBA., Pemerhati masalah komunikasi dan tata kelola kebijakan, mantan Asisten Gubernur Bank Indonesia, penulis Buku 'Ini Budi, Jejak Perjalanan Sebuah Pengabdian')