Memimpin Adalah Seni Membangun Warisan

Photo Author
- Senin, 15 September 2025 | 08:38 WIB
Puji Qomariyah.
Puji Qomariyah.

KRjogja.com - KEPERGIAN Sri Mulyani menyisakan duka, karena ia bukan sekadar bos. Ia adalah seorang pemimpin yang berhasil membangun, bukan hanya angka-angka makroekonomi yang tangguh, melainkan juga lingkungan kerja yang dibangun atas fondasi respek, profesionalisme, dan rasa aman untuk berkarya. Staf tidak takut padanya, mereka takut mengecewakannya.

Seorang menteri meninggalkan jabatannya, dan yang terdengar bukan tepuk tangan sorak-sorai, melainkan isak tangis dan pelukan haru para staf yang melepasnya dengan berat hati. Mereka berjejer, berpelukan, dan menitikkan air mata melepas kepergian seorang pemimpin yang bukan hanya dihormati, tetapi juga dicintai. Ini adalah bukti bahwa kepala yang sehat, visioner dan berintegritas akan menyehatkan seluruh tubuh organisasi.

Sebuah lembaga adalah sungai, arah alirannya, jernih atau keruhnya air, dan kehidupan yang ditopang ditentukan oleh mata air yang menjadi sumbernya. Pemimpin adalah mata air itu. Ada yang memancarkan kebijaksanaan, mengairi sawah-sawah ide dan menghidupi ekosistem kolaborasi yang subur. Di sana tumbuh padi inovasi dan setiap orang merasa haus untuk berkontribusi.

Baca Juga: Dalam Rangkaian Peringatan HUT ke-80 KR Pagelaran Wayang Kulit ‘Semar Bangun Kayangan’

Tetapi ada mata air yang keruh oleh ego, yang racunnya menyebar pelan, meracuni setiap jengkal aliran. Sungai pun menjadi payau, tak lagi menghidupi. Yang tersisa adalah tanah tandus kepatuhan palsu dan bau anyir ketakutan. Pepatah bahwa ikan membusuk dari kepalanya. Ini bukan sekadar tudingan, melainkan hukum alam yang tak terbantahkan. Lembaga tidak akan runtuh oleh angin kencang dari luar, tetapi membusuk dari keheningan yang dipaksakan, dari ketaatan tanpa cahaya, dan dari kepemimpinan yang tuli oleh gemuruh ego.

Kita sering mengira kesuksesan lembaga diukur dari angka dan pencapaian material. Warisan sejati seorang pemimpin bukan pada laporan keuangan, tetapi pada rasa yang tertinggal di ruang-ruang kerjanya apakah rasa percaya, antusiasme, dan keberanian? Ataukah bisik-bisik ketakutan, keheningan yang mematikan dan kelegaan saat ia pergi?

Pemimpin yang hebat tidak hanya meninggalkan instruksi, tetapi meninggalkan inspirasi. Dia tidak hanya membangun sistem, dia membangun manusia. Dia memahami bahwa kepemimpinan yang sejati adalah tentang melayani, memberdayakan, dan mendengarkan bahwa kekuatan terbesarnya justru terletak pada kerendahan hatinya.

Baca Juga: Warga Geger, Agus Ditemukan Meninggal di Kamar Terkunci

Pepatah Tiongkok, ikan membusuk dari kepalanya. Pepatah ini bukan sekadar kiasan, melainkan postulat sosiologis yang tajam. Dalam konteks organisasi atau lembaga, kepala ikan itu adalah pemimpinnya. Aroma kebusukan atau keharuman kesuksesan lembaga ditentukan oleh kualitas dan karakter orang yang memimpinnya. Pemimpin bukan sekadar pengelola, ia adalah arsitek budaya, penenun nilai-nilai, dan penentu arah jiwa kolektif lembaganya.

Dari kacamata sosiologi lembaga adalah microcosmos (dunia kecil) yang hidup dengan nilai, norma, dan pola interaksi. Nilai-nilai ini tidak turun dari langit, tetapi secara sengaja maupun tidak, dikonstruksi secara sosial (socially constructed) oleh pemimpin. Pemimpin memiliki kekuatan untuk membentuk struktur lembaga (aturan, budaya, resources), dan pada saat yang sama, struktur yang telah terbentuk itu akan membatasi atau memungkinkan tindakan agen-agen lainnya (staf).

Pemimpin dengan visi yang jelas dan karakter yang demokratis tidak hanya menetapkan target, tetapi membangun habitus, konsep dari Pierre Bourdieu yang berarti skema perilaku, persepsi, dan apresiasi yang tertanam dalam diri setiap anggota lembaga. Dalam habitus yang demokratis, kritik tidak dianggap sebagai pembangkangan, melainkan sebagai oksigen bagi inovasi.

Baca Juga: Tegaskan Jogja Aman, Ribuan Pesilat Turun ke Jalan Kirab di Sepanjang Malioboro

Rapat-rapat bukanlah monolog, melainkan dialektika yang menghasilkan sintesis terbaik. Dalam lingkungan seperti ini staf tidak sekedar bekerja untuk lembaga, tetapi mereka merasa menjadi lembaga itu sendiri. Mereka memiliki sense of ownership (rasa kepemilikan) karena suara mereka didengar dan kontribusi mereka dihargai.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X