Sebaliknya pemimpin yang otoriter menciptakan habitus yang sarat dengan ketakutan dan kepatuhan semu. Ia mengonstruksi struktur yang kaku, dimana komunikasi hanya bergerak satu arah dari atas ke bawah. Dalam lingkungan seperti ini lahir kesesuaian pragmatis (pragmatic conformity). Staf bekerja bukan karena motivasi intrinsik atau keyakinan pada misi lembaga, melainkan sekadar memenuhi kewajiban untuk menghindari hukuman (dimarahi).
Mereka bermain peran (role playing) sebagai pegawai yang patuh di hadapan pemimpin, tetapi bersikap apatis dan sinis di belakangnya. Ini menjelaskan mengapa ketika pemimpin otoriter pindah atau pensiun, yang terjadi adalah rasa lega dan tepuk tangan bahagia, bukan duka atas kepergian panutan. Lembaga itu tidak kehilangan seorang pemimpin, tetapi melepas seorang penindas.
Kemampuan mendengarkan seorang pemimpin bukanlah sekadar soft skill, melainkan tindakan sosiologis yang fundamental. Dengan mendengarkan, pemimpin melakukan decentering, menggeser ego dan sudut pandangnya untuk memahami realitas sosial yang dialami oleh anggota lembaganya. Ini adalah modal untuk membangun legitimasi yang otentik, bukan legitimasi yang dipaksakan melalui jabatan.
Baca Juga: PARTIKELIR Gelar Konser, Luncurkan Album Perdana Sentuh Ruang Batin Pendengarnya
Pepatah Tiongkok itu benar, kepala ikan menentukan kesegaran seluruh tubuhnya. Dalam dunia lembaga, pemimpin adalah kepalanya. Kebesaran, kemajuan, dan keberlanjutan lembaga adalah cermin dari visi, integritas, dan yang penting karakter sosiologis pemimpinnya. Pemimpin yang baik tidak hanya bertanya, apa yang harus dikerjakan staf saya? tetapi lebih mendalam, budaya seperti apa yang saya ciptakan hari ini? dan akankah lembaga ini tetap kuat jika saya pergi?
Pilihan kita bukan hanya mencari pemimpin yang cerdas, melainkan yang mampu membangun sistem dan budaya meregenerasi pemimpin yang berjiwa demokratis, rendah hati, dan mampu mendengarkan. Karena kebesaran lembaga adalah warisan dari karakter kolektif yang dibangun oleh seorang pemimpin yang visioner.
Kita adalah manusia yang memiliki akal dan nurani untuk memilih, kepemimpinan adalah pilihan. Pilihan untuk dikenang sebagai arsitek jiwa yang dihormati, atau sekadar nama dalam daftar mantan pemimpin yang ditinggalkan dengan kelegaan.
Warisan pemimpin bukanlah pada apa yang ditulis dalam laporan tahunan, tetapi pada apa yang dibisikkan para staf di tembok atau lorong kantor saat pemimpin tak di tempat. Bukan pada plakat penghargaan di dinding, tetapi pada apakah ide itu masih menyala di mata mereka saat pemimpin sudah pergi.
Baca Juga: Bahaya Osteoporosis, Bisa Menyerang Anak Muda yang Kurang Olah Raga
Mari kita menyelami hakikat kepemimpinan yang sesungguhnya. Mari kita belajar dari dia yang bukan hanya memimpin dengan akal, tetapi juga dengan hati. Karena kebesaran lembaga adalah cermin dari kebesaran jiwa orang yang memimpinnya. Dan warisan terabadi yang bisa ditinggalkan seorang pemimpin bukan sebuah nama di pintu gedung, melainkan sebuah api semangat yang terus menyala di dalam hati setiap orang yang pernah dipimpinnya, lama setelah dia pergi. Lembaga akan sebesar karakter yang dipancarkan oleh pemimpin. Karena kepemimpinan bukan tentang seberapa keras seorang pemimpin diteriaki, tetapi tentang seberapa dalam keheningan yang ditinggalkan saat pemimpin pergi, hening penuh rasa hormat, atau hampa penuh pertanyaan yang tak pernah terjawab. Maka warisan seperti apa yang ingin Anda tinggalkan, wahai pemimpin? (Puji Qomariyah, M.Si, Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pendidikan-IP UNY)