opini

Yogyakarta, Inklusif 'Totum Pro Parte'

Minggu, 16 Juli 2017 | 07:47 WIB

 

Penulis melihat peristiwa sebagai salah satu laku yang harus segera dituntaskan. Inklusi dalam pikiran penulis adalah sebuah keberterimaan atas keragaman tanpa mengeksklusi salah satu di antara perbedaan yang ada. Oleh karena itu, tidak pantas ketika masih terjadi inklusi khusus untuk salah satu kelompok saja. Namun yang terjadi di Yogyakarta masih seperti gambaran yang telah penulis paparkan. Bukan berarti kita juga harus menghakimi mereka yang mengeksklusi kelompok lain, utamanya berbasis gender dan seksualitas. Pada titik ini penulis melihat bahwa pengetahuanlah yang harus diperkaya bagi semua pihak, baik kepada masayarakat umum maupun aktivis inklusi. 

 

Gerakan Literasi Melawan Eksklusi

 

Fenomena diskriminasi hingga eksklusi terhadap kelompok-kelompok tertentu berakar pada pengetahuan. Minimnya pengetahuan tentang suatu hal membuat orang menjadi mudah diprovokasi, takut, dan berakibat pada keputusan sikap berbasis kekerasan atas nama agama dan sebagainya. Hal ini tidak mudah untuk diubah begitu saja. 

 

Proses seseorang mencapai taraf tertentu dalam memahami sebuah pengetahuan membutuhkan waktu dan tenaga, sehingga untuk mengubahnya menurut kebaikan versi kita juga butuh waktu dan tenaga yang sama. Namun penulis tidak sepakat dengan kekerasan yang dibalas dengan kekerasan, stigma dibalas dengan stigma, dan diskriminasi dibalas dengan diskriminasi. Pengetahuan harus disebarkan menggunakan akal dan pengetahuan itu sendiri.

 

Dalam meluruskan pengetahuan, khususnya tentang agama, gender, dan seksualitas, memerlukan kolaborasi dari banyak pihak. Peneliti dan aktivis harus berkolaborasi mengemas hasil penelitian dengan gerakan-gerakan advokasi yang akan dilakukan. Salah satu hal yang bisa ditawarkan adalah melalui gerakan literasi. Ketakutan, prasangka, dan penerimaan sebuah pengetahuan yang belum jernih harus dijernihkan dengan pengetahuan itu sendiri. Gerakan literasi untuk semua lini harus dilakukan, tentu dengan media yang sejaman dan bisa dinikmati oleh semua kalangan. Pun bisa dilakukan dengan cara masing-masing sesuai dengan target sasaran usia. 

 

Festival literasi menjadi salah satu langkah untuk menjernihkan nalar dan keberpihakan. Berbagai pihak akan melakukan kerja-kerja kolaborasi menggunakan media alternatif. Penulis bersama beberapa kawan di Yogyakarta juga terlibat dalam penyelenggaraan festival berbasis media alternatif untuk menciptakan toleransi dan membidik peserta agar mampu memahami konten secara kritis. Segalanya adalah upaya sederhana untuk memanusiakan manusia dan membangun harmoni dalam harmoni interaksi antar manusia.  

 

(Eni Puji Utami, penulis adalah pegiat media alternatif dan pendidikan kritis di Yayasan Festival Film Pelajar Jogja. sejak 2008, Eni fokus mempelajari isu keragaman dan toleransi.) 

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB